tag:blogger.com,1999:blog-35750032005958906622024-03-12T16:54:34.562-07:00Cerita Kisah cintaAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/03646279938462545085noreply@blogger.comBlogger24125tag:blogger.com,1999:blog-3575003200595890662.post-64163981012294312312011-05-20T02:54:00.001-07:002011-05-20T02:54:06.933-07:00Kisah Cinta Sejati Ali bin Abi Thalib RA dan Fathimah Az-Zahra RA 28 AprSungguh beruntung bila diantara kita ada yang bisa mengikuti jejak cinta dari seorang Ali bin Abi Thalib RA dan istrinya Fathimah Az-Zahra RA. Karena keduanya adalah sosok yang memiliki cinta sejati yang mumpuni. Saling mengisi dan percaya dalam mengarungi bahtera kehidupan. Saling menenguhkan keimanan masing-masing kepada Allah SWT. Dan untuk lebih jelasnya, mari kita ikuti kisah singkat tentang cinta sejati mereka:<br />
<br />
Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah, karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.<br />
<br />
Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakar Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.<br />
<br />
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.<br />
<br />
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakar berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.<br />
<br />
Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.<br />
<br />
Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali. ”Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku” Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.<br />
<br />
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakar ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakar mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.<br />
<br />
Umar ibn Al-Khaththab. Ya, Al-Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakar dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakar dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakar dan ’Umar.”<br />
<br />
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al-Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.<br />
<br />
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan.Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.<br />
<br />
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu? ”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.<br />
<br />
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. ” ”Aku?”, tanyanya tak yakin.”Ya. Engkau wahai saudaraku!” ”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?” ”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!” ’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang. ”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya.<br />
<br />
Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu? ”Entahlah..”Apa maksudmu?” “Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!” ”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,”Eh, maaf kawan. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !” Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.<br />
<br />
Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.<br />
<br />
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ” ‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?” Sambil tersenyum Fathimah pun berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah dirimu”<br />
<br />
Kemudian Nabi SAW bersabda: “ Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut”<br />
<br />
Kemudian Rasulullah SAW. mendoakan keduanya: “Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak”<br />
<br />
Yogyakarta, 28 April 2011<br />
Mashudi Antoro (Oedi`)<br />
<br />
[Disadur dari: kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab 4]<br />
<br />
Baca juga kisah hidup mereka di link berikut ini: Suami yang cerdas dan istri yang shalehah dalam mengutangi Allah SWTAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/03646279938462545085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3575003200595890662.post-61561919957477742512011-03-30T21:50:00.001-07:002011-03-30T21:50:46.049-07:00Kisah Pria dan Empat Orang IstrinyaAda seorang pria saudagar kaya raya yang mempunyai 4 isteri. Seluruh isteri sangat dia cintai, tapi yang ke-4 lah yang dia manjakan dengan harta dan kesenangan. Isterinya ini memang tercantik di antara ketiga isteri yang lainnya.<br />
<br />
Saudagar ini juga mencintai isterinya yang ke-3. Dia sangat bangga dengan sang isteri dan selalu berusaha untuk memperkenalkan wanita cantik ini kepada semua temannya. Namun ia juga selalu khawaatir, kalau-kalau isterinya nanti lari dengan pria lain.<br />
<br />
Begitu juga dengan isteri ke-2. Si saudagar sangat menyukainya karena ia isteri yang sabar dan penuh pengertian. Ketika dia mendapat masalah, ia selalu minta pertimbangan isteri ke-2-nya ini, yang selalu menolong dan mendampingi sang suami melewati masa-masa tersulit.<br />
<br />
Sama halnya dengan isteri pertama. Ia adalah pasangan yang sangat setia dan selalu membawa kebaikan bagi kehidupan keluarganya. Wanita ini yang merawat dan mengatur semua kekayaan dan bisnis sang suami. Akan tetapi, sang pedagang kurang mencintainya meski isteri pertama ini begitu sayang kepadanya.<br />
<br />
<br />
Singkat cerita si saudagar jatuh sakit dan menyadari bahwa ajal makin dekat. Di tengah sakitnya yang parah, dia mencoba tentang semua keindahan yang diperolehnya dan berkata dalam hati, “Saat ini aku punya 4 isteri. Namun akankah aku sendiri saat aku meninggal nanti. Betapa menyedihkan.”<br />
Lalu saudagar itu memanggil semua isterinya dan bertanya pada isteri yang ke-4-nya.<br />
“Engkaulah yang paling kucintai, kuberikan kau gaun dan perhiasan indah. Nah, sekarang aku akan mati. Maukah kamu mendampingi dan menemaniku?”<br />
Sang isteri terdiam…. “Tentu saja tidak!” Jawab isteri ke-4 dan pergi begitu saja tanpa berkata-kata lagi. Jawaban ini sangat menyakitkan hati. Seakan-akan ada pisau terhunus dan mengiris-iris hatinya.<br />
<br />
Saudagar itu sedih lalu bertanya pada isteri ke-3.<br />
“Aku pun mencintaimu sepenuh hati dan saat ini hidupku akan berakhir. Maukah kau ikut denganku dan menemani akhir hayatku?”<br />
“Hidup begitu indah di sini, Aku akan menikah lagi jika kau mati.” Jawab isterinya seakan tak peduli.<br />
Bagai disambar petir di siang bolong, si saudagar sangat terpukul dengan jawaban tersebut. Badannya terasa demam.<br />
<br />
Kemudian ia memanggil isteri ke-2.<br />
“Aku selalu berpaling kepadamu setiap kali aku mendapat masalah dan kau selalu membantuku sepenuh hati. Kini aku memerlukan sekali bantuanmu. Kalau aku mati, maukah engkau mendampingiku?”<br />
“Maafkan aku kali ini aku tak dapat menolongmu. Aku hanya dapat menghantarmu hingga ke liang kubur. Nant akan kubuatkan makam yang indah untukmu.” Jawab si isteri lembut<br />
Saudagar ini sangat putus asa. Dalam keadaan kecewa itu, tiba-tiba terdengar suara, “Aku akan tinggal bersamamu dan menemanimu kemana pun kau pergi. Aku tak akan meninggalkanmu, aku akan setia bersamamu.”<br />
<br />
Pria itu lalu menoleh ke samping, dan mendapati isteri pertamanya di sana. Ia tampak begitu kurus. Badannya seperti orang kelaparan. Merasa menyesal, sang pedagang lalu bergumam, “Kalau saja aku dapat merawatmu lebih baik saat aku mampu, tak akan kubiarkan engkau kurus seperti ini, isteriku.”<br />
Sahabatku! Ini memang cerita poligami tapi sebatas tamsil. Karena sesungguhnya dalam kehidupan nyata kita punya 4 isteri ini.<br />
<br />
Isteri ke-4 adalah TUBUH kita.<br />
Seberapa banyak waktu dan biaya yang kita keluarkan untuk tubuh kita supaya tampak indah dan gagah. Semua ini akan hilang dalam suatu batas waktu dan ruang. Tak ada keindahan dan kegagahan yang tersisa saat kita menghadap kepada-Nya.<br />
<br />
Isteri ke-3, STATUS SOSIAL DAN KEKAYAAN.<br />
Saat kita meninggal, semuanya akan pergi kepada yang lain. Mereka akan berpindah danmelupakan kita yang pernah memilikinya. Sebesar apapun kedudukan kita dalam masyarakat dan sebanyak apapun harta kita, semua itu akan berpindah tangan dalam waktu sekejap ketika kita tiada.<br />
<br />
Sedangkan isteri ke-2, yakni KERABAT DAN TEMAN.<br />
Seberapa pun dekat hubungankita dengan mereka, kita tak akan dapat terus bersama mereka. Hanya sampai liang kuburlah mereka menemani kita.<br />
<br />
Dan sesungguhnya isteri pertama kita adalah JIWA DAN AMAL SHALIH KITA.<br />
Sebenarnya hanya jiwa dan amal shalih kita sajalah yang mampu untuk terus setia mendampingi kemana pun kita melangkah. Hanya amallah yang mampu menolong kita di akhirat kelak.<br />
<br />
Jadi, selagi mampu, perlakukanlah jiwa kita dengan bijak serta jangan dan lekas malu untuk berbuat amal, memberikan pertolongan kepada sesama yang memerlukan. Betapa pun kecilnya bantuan kita, pemberian kita menjadi sangat berarti bagi mereka yang memerlukanAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/03646279938462545085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3575003200595890662.post-33929019394188166912011-03-30T21:49:00.001-07:002011-03-30T21:49:32.544-07:00kisah perempuan tua dan kecintaan nya terhadap RasulTersebutlah sebuah kisah seorang Perempuan Tua yang tak pernah berhenti berharap datangnya Syafaat Rasulullah saw. Perempuan tua dari kampung itu bukan saja mengungkapkan cinta Rasul dalam bentuknya yang tulus. Ia juga menunjukkan kerendahan hati, kehinaan diri, dan keterbatasan amal dihadapan Allah swt. Lebih dari itu, ia juga memiliki kesadaran spiritual yang luhur: Ia tidak dapat mengandalkan amalnya. Ia sangat bergantung pada rahmat Allah. Dan siapa lagi yang menjadi rahmat semua alam selain Rasulullah saw?<br />
<br />
Insya Allah, Kisahnya akan Bermanfaat dan dapat dipetik Hikmahnya.<br />
<br />
Di sebuah kota di Madura, ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka. Ia menjual bunganya di pasar, setelah berjalan kaki cukup jauh. Usai jualan, ia pergi ke masjid Agung di kota itu. Ia berwudhu, masuk masjid, dan melakukan salat Zhuhur. Setelah membaca wirid sekedarnya, ia keluar masjid dan membungkuk-bungkuk di halaman masjid. Ia mengumpulkan dedaunan yang berceceran di halaman masjid. Selembar demi selembar dikaisnya. Tidak satu lembar pun ia lewatkan.<br />
Tentu saja agak lama ia membersihkan halaman masjid dengan cara itu. Padahal matahari Madura di siang hari sungguh menyengat. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya.<br />
<br />
<br />
Banyak pengunjung masjid jatuh iba kepadanya. Pada suatu hari Takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum perempuan tua itu datang.<br />
Pada hari itu, ia datang dan langsung masuk masjid. Usai salat, ketika ia ingin melakukan pekerjaan rutinnya, ia terkejut. Tidak ada satu pun daun terserak di situ. Ia kembali lagi ke masjid dan menangis dengan keras. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah disapukan sebelum kedatangannya. Orang-orang menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya. “Jika kalian kasihan kepadaku,” kata nenek itu, “Berikan kesempatan kepadaku untuk membersihkannya.”<br />
<br />
Singkat cerita, nenek itu dibiarkan mengumpulkan dedaunan itu seperti biasa.<br />
Seorang kiai terhormat diminta untuk menanyakan kepada perempuan itu mengapa ia begitu bersemangat membersihkan dedaunan itu. Perempuan tua itu mau menjelaskan sebabnya dengan dua syarat: pertama, hanya Kiai yang mendengarkan rahasianya; kedua, rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup.<br />
<br />
Sekarang ia sudah meninggal dunia, dan Anda dapat mendengarkan rahasia itu.<br />
<br />
“Saya ini perempuan bodoh, pak Kiai,” tuturnya. “Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat pada hari akhirat tanpa syafaat Nabi Muhammad. Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu salawat kepada Rasulullah. Kelak jika saya mati, saya ingin Rasulullah menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan salawat kepadanya.”Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03646279938462545085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3575003200595890662.post-77746797117251823392011-03-30T21:48:00.003-07:002011-03-30T21:48:43.013-07:00kisah Ali Zainal AbidinKetika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.<br />
<br />
“Allahu Akbar!” suara lelaki itu mengawali shalatnya.<br />
<br />
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do’a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.<br />
<br />
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.<br />
<br />
<br />
“Rupanya malam sudah larut…,”bisiknya.<br />
<br />
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.<br />
<br />
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.<br />
<br />
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.<br />
<br />
“Alhamdulillah…, harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,”kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.<br />
<br />
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.<br />
<br />
“Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!” seru orang yang mendapat jatah makanan.<br />
<br />
“Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!” sambut yang lainnya.<br />
<br />
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.<br />
<br />
“Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!” kata orang miskin ketika pagi tiba.<br />
<br />
“Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong…,” timpal seorang temannya.<br />
<br />
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.<br />
<br />
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?<br />
<br />
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.<br />
<br />
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!<br />
<br />
“Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak…,” orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.<br />
<br />
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. “Ayo cepat! Mana uangnya?!” gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.<br />
<br />
“Aku…aku…,” Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.<br />
<br />
“Siapa kau?!” tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.<br />
<br />
“Ampun, Tuan….jangan siksa saya…saya hanya seorang budak miskin…,”katanya ketakutan.<br />
<br />
“Kenapa kau merampokku?” Tanya Ali kemudian.<br />
<br />
“Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan,” sahutnya dengan wajah pucat.<br />
<br />
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.<br />
<br />
“Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat…”<br />
<br />
“Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?” kata Ali.<br />
<br />
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.<br />
<br />
“Sekarang pulanglah!” kata Ali.<br />
<br />
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.<br />
<br />
“Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah…saya berjanji tidak akan mengulanginya,” kata orang itu penuh sesal.<br />
<br />
Ali tersenyum dan mengangguk.<br />
<br />
“Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun.” Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.<br />
<br />
“Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini…,” kata Ali sebelum orang itu pergi.” Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku,” sambung Ali.<br />
<br />
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.<br />
<br />
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.<br />
<br />
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.<br />
<br />
“Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?”<br />
<br />
“Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah,” kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.<br />
<br />
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.<br />
<br />
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo’a,” Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03646279938462545085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3575003200595890662.post-62192934601629605522011-03-30T21:48:00.001-07:002011-03-30T21:48:14.578-07:00Rasulullah dan Pengemis Yahudi ButaDi sudut pasar Madinah Al-Munawarah seorang pengemis Yahudi buta hari demi hari apabila ada orang yang mendekatinya ia selalu berkata “Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya”. Setiap pagi Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad. Rasulullah SAW melakukannya hingga menjelang Beliau SAW wafat. Setelah kewafatan Rasulullah tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu.<br />
<br />
<br />
Suatu hari Abubakar r.a berkunjung ke rumah anaknya Aisyah r.ha. Beliau bertanya kepada anaknya, “anakku adakah sunnah kekasihku yang belum aku kerjakan”, Aisyah r.ha menjawab pertanyaan ayahnya, “Wahai ayah engkau adalah seorang ahli sunnah hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja”. “Apakah Itu?”, tanya Abubakar r.a. Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana”, kata Aisyah r.ha.<br />
Ke esokan harinya Abubakar r.a. pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abubakar r.a mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepada nya. Ketika Abubakar r.a. mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak, “siapakah kamu ?”. Abubakar r.a menjawab, “aku orang yang biasa”. “Bukan !, engkau bukan orang yang biasa mendatangiku”, jawab si pengemis buta itu. Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut dengan mulutnya setelah itu ia berikan pada ku dengan mulutnya sendiri”, pengemis itu melanjutkan perkataannya.<br />
Abubakar r.a. tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, aku memang bukan orang yang biasa datang pada mu, aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW. Setelah pengemis itu mendengar cerita Abubakar r.a. ia pun menangis dan kemudian berkata, benarkah demikian?, selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia…. Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat dihadapan Abubakar r.a.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03646279938462545085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3575003200595890662.post-23403462159201279422011-03-30T21:46:00.003-07:002011-03-30T21:46:32.494-07:00Mandikan Aku BundaDewi adalah sahabatku, seorang mahasiswi yang berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ”Why not to be the best?,” begitu ucapan yang kerap kali terdengar dari mulutnya, mengutip ucapan seorang mantan presiden Amerika.<br />
Ketika kampus mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht-Belanda, Dewi termasuk salah satunya.<br />
Setelah menyelesaikan kuliahnya, Dewi mendapat pendamping hidup yang “selevel”, sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi. Tak lama berselang lahirlah Bayu, buah cinta mereka, anak pertamanya tersebut lahir ketika Dewi diangkat manjadi staf diplomat, bertepatan dengan suaminya meraih PhD. Maka lengkaplah sudah kebahagiaan mereka.<br />
Ketika Bayu, berusia 6 bulan, kesibukan Dewi semakin menggila. Bak seekor burung garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Sebagai seorang sahabat setulusnya saya pernah bertanya padanya, “Tidakkah si Bayu masih terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal oleh ibundanya?” Dengan sigap Dewi menjawab, “Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya dengan sempurna”. “Everything is OK! Don’t worry. Everything is under control kok!” begitulah selalu ucapannya, penuh percaya diri.<br />
Ucapannya itu memang betul-betul ia buktikan. Perawatan anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter termahal. Dewi tinggal mengontrol jadwal Bayu lewat telepon. Pada akhirnya Bayu tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas mandiri dan mudah mengerti.<br />
<br />
<br />
Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang betapa hebatnya ibu-bapaknya. Tentang gelar Phd dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang berlimpah. “Contohlah ayah-bundamu Bayu, kalau Bayu besar nanti jadilah seperti Bunda”. Begitu selalu nenek Bayu, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.<br />
Ketika Bayu berusia 5 tahun, neneknya menyampaikan kepada Dewi kalau Bayu minta seorang adik untuk bisa menjadi teman bermainnya di rumah apabila ia merasa kesepian.<br />
Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Dewi dan suaminya kembali meminta pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Bayu. Lagi-lagi bocah kecil inipun mau ”memahami” orangtuanya.<br />
Dengan bangga Dewi mengatakan bahwa kamu memang anak hebat, buktinya, kata Dewi, kamu tak lagi merengek minta adik. Bayu, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek dan sangat mandiri. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek.<br />
Bahkan, tutur Dewi pada saya, Bayu selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Dewi sering memanggilnya malaikat kecilku. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, namun Bayu tetap tumbuh dengan penuh cinta dari orang tuanya. Diam-diam, saya jadi sangat iri pada keluarga ini.<br />
Suatu hari, menjelang Dewi berangkat ke kantor, entah mengapa Bayu menolak dimandikan oleh baby sitternya. Bayu ingin pagi ini dimandikan oleh Bundanya,”Bunda aku ingin mandi sama bunda…please…please bunda”, pinta Bayu dengan mengiba-iba penuh harap.<br />
Karuan saja Dewi, yang detik demi detik waktunya sangat diperhitungkan merasa gusar dengan permintaan anaknya. Ia dengan tegas menolak permintaan Bayu, sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Bayu agar mau mandi dengan baby sitternya. Lagi-lagi, Bayu dengan penuh pengertian mau menurutinya, meski wajahnya cemberut.<br />
Peristiwa ini terus berulang sampai hampir sepekan. “Bunda, mandikan aku!” Ayo dong bunda mandikan aku sekali ini saja…?” kian lama suara Bayu semakin penuh tekanan. Tapi toh, Dewi dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Bayu sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Bayu bisa ditinggal juga dan mandi bersama Mbanya.<br />
Sampai suatu sore, Dewi dikejutkan oleh telpon dari sang baby sitter, “Bu, hari ini Bayu panas tinggi dan kejang-kejang. Sekarang sedang di periksa di ruang emergency”.<br />
Ketika diberitahu soal Bayu, Dewi sedang meresmikan kantor barunya di Medan. Setelah tiba di Jakarta, Dewi langsung ngebut ke UGD. Tapi sayang…terlambat sudah…Tuhan sudah punya rencana lain. Bayu, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh Tuhannya. Terlihat Dewi mengalami shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah untuk memandikan putranya, setelah bebarapa hari lalu Bayu mulai menuntut ia untuk memandikannya, Dewi pernah berjanji pada anaknya untuk suatu saat memandikannya sendiri jika ia tidak sedang ada urusan yang sangat penting. Dan siang itu, janji Dewi akhirnya terpenuhi juga, meskipun setelah tubuh si kecil terbujur kaku.<br />
<br />
Ditengah para tetangga yang sedang melayat, terdengar suara Dewi dengan nada yang bergetar berkata “Ini Bunda Nak….hari ini Bunda mandikan Bayu ya…sayang….! akhirnya Bunda penuhi juga janji Bunda ya Nak..”<br />
Lalu segera saja satu demi satu orang-orang yang melayat dan berada di dekatnya tersebut berusaha untuk menyingkir dari sampingnya, sambil tak kuasa untuk menahan tangis mereka.<br />
Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, para pengiring jenazah masih berdiri mematung di sisi pusara sang Malaikat Kecil.<br />
Berkali-kali Dewi, sahabatku yang tegar itu, berkata kepada rekan-rekan disekitanya, “Inikan sudah takdir, ya kan..!” Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya di panggil, ya dia pergi juga, iya kan?”<br />
Saya yang saat itu tepat berada di sampingnya diam saja. Seolah-olah Dewi tak merasa berduka dengan kepergian anaknya dan sepertinya ia juga tidak perlu hiburan dari orang lain.<br />
Sementara di sebelah kanannya, suaminya berdiri mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pucat pasi dengan bibir bergetar tak kuasa menahan air mata yang mulai meleleh membasahi pipinya.<br />
Sambil menatap pusara anaknya, terdengar lagi suara Dewi berujar, “Inilah konsekuensi sebuah pilihan!” lanjut Dewi, tetap mencoba untuk tegar dan kuat.<br />
<br />
Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja yang menusuk hidung hingga ke tulang sumsum. Tak lama setelah itu tanpa diduga-duga tiba-tiba saja Dewi jatuh berlutut, lalu membantingkan dirinya ke tanah tepat diatas pusara anaknya sambil berteriak-teriak histeris. “Bayu maafkan Bunda ya sayaang..!!, ampuni bundamu ya nak…? serunya berulang-ulang sambil membenturkan kepalanya ketanah, dan segera terdengar tangis yang meledak-ledak dengan penuh berurai air mata membanjiri tanah pusara putra tercintanya yang kini telah pergi untuk selama-lamanya.<br />
Sepanjang saya mengenalnya, rasanya baru kali ini saya menyaksikan Dewi menangis dengan histeris seperti ini.<br />
Lalu terdengar lagi Dewi berteriak-teriak histeris “Bangunlah Bayu sayaaangku….bangun Bayu cintaku, ayo bangun nak…..?!?” pintanya berulang-ulang, “Bunda mau mandikan kamu sayang….tolong beri kesempatan Bunda sekali saja Nak….sekali ini saja, Bayu..anakku…?” Dewi merintih mengiba-iba sambil kembali membenturkan kepalanya berkali-kali ke tanah lalu ia peluki dan ciumi pusara anaknya bak orang yang sudah hilang ingatan. Air matanya mengalir semakin deras membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Bayu.<br />
Senja semakin senyap, aroma bunga kamboja semakin tercium kuat menusuk hidung membuat seluruh bulu kuduk kami berdiri menyaksikan peristiwa yang menyayat hati ini…tapi apa hendak di kata, nasi sudah menjadi bubur, sesal kemudian tak berguna. Bayu tidak pernah mengetahui bagaimana rasanya dimandikan oleh orang tuanya karena mereka merasa bahwa banyak hal yang jauh lebih penting daripada hanya sekedar memandikan seorang anak.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03646279938462545085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3575003200595890662.post-63970578369670968192011-03-30T21:46:00.001-07:002011-03-30T21:46:02.688-07:00Cintai rasullullahSesaat sebelum Rasulullah SAW wafat beliau bertanya pada Jibril,“Jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?”Jibril pun menjawab “ Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu.”.<br />
<br />
Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh… kecemasan. “Engkau tidak senang mendengar khabar ini?” Tanya Jibril lagi.“Khabarkan kepada ku bagaimana nasib umatku kelak?” Pinta Rasulullah.<br />
<br />
“Jangan khawatir wahai Rasulullah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: “Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,” kata Jibril.<br />
Sesaat kemudian, terdengar Rasulullah memekik, “YaAllah, timpakan saja semua sakitnya maut ini kepadaku, jangan pada umatku.” Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.<br />
<br />
Bibirnya bergetar seraya berkata “Ummatii, ummatii, ummatii”- (Umatku, umatku, umatku). Dan berakhirlah hidup seorang manusia yang mulia yang memberi sinaran itu.<br />
<br />
Kini, mampukah kita mencintai Rasulullah seperti Beliau mencitai kita? Mudah-mudahan kita termasuk umat yang selalu bershalawat kepada beliau Rasulullah S.A.W , sehingga kita bisa mendapatkan safaatnya kelak dihari pembalasan, amin.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03646279938462545085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3575003200595890662.post-36996335599947123972011-03-30T21:45:00.003-07:002011-03-30T21:45:27.318-07:00http://fadil.blogsome.com/2010/10/12/benci-menjadi-cinta/Berteman dengan siapapun adalah sesuatu yang menggembirakan. Banyak mutiara hikmah yang berserakan dimanapun justru yang muncul dari orang-orang yang sederhana. Salah satunya penjual sate ayam. Awalnya mengenalnya dibulan suci ramadhan beberapa tahun yang lalu. Orang Madura ini baik dan ramah. Itulah yang membuat dagangan satenya menjadi ramai.<br />
<br />
Pada suatu hari dia bertutur bahwa pada saat bulan tertentu seperti bulan ramadhan dirinya bisa kewalahan melayani pembeli. Sampai dia mengajak sanak saudaranya ikut membantunya berjualan, termasuk bapaknya sendiri. Katanya, pada satu sore para sudah banyak pembeli yang mengantri. Bapak dan saudara-saudara sibuk melayani sementara dirinya pulang untuk mengambil lontong dan sate ayam dirumah.<br />
<br />
<br />
Sekembali ke warung dan pembeli sudah mulai berkurang. Adzan maghrib berkumandang. Sang bapak menghampiri dirinya dan mengatakan kalau kotak uang penjualan hari ini telah hilang diambil orang. Sebagai gantinya bapaknya bersedia bekerja selama ramadhan tidak usah digaji.<br />
<br />
Hari telah berlalu, seminggu kemudian. Abis jelang adzan maghrib ada seorang pemuda pesan sate ayam beserta lontong. Bapaknya langsung melayaninya. Orang itu dilayani dengan istimewa, membuat anaknya menjadi heran, kenapa bapak memperlakukan dia sangat istimewa. Mulai dari membakarkan sate, menyiapkan lontongnya, teh hangatnya dengan sangat ramahnya.<br />
<br />
“Bapak, siapakah dia? Kenapa bapak melayani dengan sangat istimewa?’<br />
Apa dia pejabat kelurahan?” Katanya penuh keheranan.<br />
“Bukan. Dia adalah yang mengambil kotak uangmu tempo hari.” Jawab bapaknya.<br />
<br />
‘Mendengar jawaban bapak seperti itu rasanya darah saya mendidih. Pengen rasanya saya luapkan amarah saya pada orang itu.’ tutur Sang Penjual sate.<br />
<br />
‘Tapi bapak saya mencegahnya dengan mengatakan. ‘Jangan kamu luapkan amarahmu. Dia adalah guru sejatimu sebab dari dialah, dirimu bisa belajar mengubah bencimu menjadi Cinta.’ lanjutnyanya, matanya nampak berkaca-kaca, bebarapa kali tangannya mengusap air mata yang yang jatuh dipipinya untuk memahami makna hidup yang diajarkan oleh ayahnya tentang mengubah benci menjadi cinta. Subhanallah..<br />
<br />
—<br />
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui’ QS. Al Baqarah : 216Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03646279938462545085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3575003200595890662.post-47422833535965574202011-03-30T21:44:00.001-07:002011-03-30T21:44:42.858-07:00Wanita yang pertama masuk surgaWanita yang diperkenankan masuk surga pertama kali adalah seorang wanita yang bernama Muti’ah. Kaget? Sama seperti Siti Fatimah ketika itu, yang mengira dirinyalah yang pertama kali masuk surga.<br />
<br />
Siapakah Muti’ah? Karena rasa penasaran yang tinggi, Siti Fatimah pun mencari seorang wanita yang bernama Muti’ah ketika itu. Beliau juga ingin tahu, amal apakah yang bisa membuat wanita itu bisa masuk surga pertama kali? Setelah bertanya-tanya, akhirnya Siti Fatimah mengetahui rumah seorang wanita yang bernama Muti’ah. Kali ini ia ingin bersilaturahmi ke rumah wanita tersebut, ingin melihat lebih dekat kehidupannya. Waktu itu, Siti Fatimah berkunjung bersama dengan anaknya yang masih kecil, Hasan. Setelah mengetuk pintu, terjadilah dialog.<br />
<br />
<br />
“Di luar, siapa?” kata Muti’ah tidak membukakan pintu.<br />
“Saya Fatimah, putri Rasulullah”<br />
“Oh, iya. Ada keperluan apa?”<br />
“Saya hanya berkunjung saja”<br />
“Anda seorang diri atau bersama dengan lainnya?”<br />
“Saya bersama dengan anak saya, Hasan?”<br />
“Maaf, Fatimah. Saya belum mendapatkan izin dari suami saya untuk menerima tamu laki-laki”<br />
“Tetapi Hasan masih anak-anak”<br />
“Walaupun anak-anak, dia lelaki juga kan? Maaf ya. Kembalilah besok, saya akan meminta izin dulu kepada suami saya”<br />
“Baiklah” kata Fatimah dengan nada kecewa. Setelah mengucapkan salam, ia pun pergi.<br />
<br />
Keesokan harinya, Siti Fatimah kembali berkunjung ke rumah Muti’ah. Selain mengajak Hasan, ternyata Husein (saudara kembar Hasan) merengek meminta ikut juga. Akhirnya mereka bertiga pun berkunjung juga ke rumah Muti’ah. Terjadilah dialog seperti hari kemarin.<br />
“Suami saya sudah memberi izin bagi Hasan”<br />
“Tetapi maaf, Muti’ah. Husein ternyata merengek meminta ikut. Jadi saya ajak juga!”<br />
“Dia perempuan?”<br />
“Bukan, dia lelaki”<br />
“Wah, saya belum memintakan izin bagi Husein.”<br />
“Tetapi dia juga masih anak-anak”<br />
“Walaupun anak-anak, dia juga lelaki. Maaf ya. Kembalilah esok!”<br />
“Baiklah” Kembali Siti Fatimah kecewa.<br />
<br />
Namun rasa penasarannya demikian besar untuk mengetahui, rahasia apakah yang menyebabkan wanita yang akan dikunjunginya tersebut diperkanankan masuk surga pertama kali. Akhirnya hari esok pun tiba. Siti Fatimah dan kedua putranya kembali mengunjungi kediaman Mutiah. Karena semuanya telah diberi izin oleh suaminya, akhirnya mereka pun diperkenankan berkunjung ke rumahnya. Betapa senangnya Siti Fatimah karena inilah kesempatan bagi dirinya untuk menguak misteri wanita tersebut.<br />
<br />
Menurut Siti Fatimah, wanita yang bernama Muti’ah sama juga seperti dirinya dan umumnya wanita. Ia melakukan shalat dan lainnya. Hampir tidak ada yang istimewa. Namun, Siti Fatimah masih penasaran juga. Hingga akhirnya ketika telah lama waktu berbincang, “rahasia” wanita itu tidak terkuak juga. Akhirnya, Muti’ah pun memberanikan diri untuk memohon izin karena ada keperluan yang harus dilakukannya.<br />
<br />
“Maaf Fatimah, saya harus ke ladang!”<br />
“Ada keperluan apa?”<br />
“Saya harus mengantarkan makanan ini kepada suami saya”<br />
“Oh, begitu”<br />
Tidak ada yang salah dengan makanan yang dibawa Muti’ah yang disebut-sebut sebagai makanan untuk suaminya. Namun yang tidak habis pikir, ternyata Muti’ah juga membawa sebuah cambuk.<br />
“Untuk apa cambuk ini, Muti’ah?” kata Fatimah penasaran.<br />
“Oh, ini. Ini adalah kebiasaanku semenjak dulu”<br />
Fatimah benar-benar penasaran. “Ceritakanlah padaku!”<br />
<br />
“Begini, setiap hari suamiku pergi ke ladang untuk bercocok tanam. Setiap hari pula aku mengantarkan makanan untuknya. Namun disertai sebuah cambuk. Aku menanyakan apakah makanan yang aku buat ini enak atau tidak, apakah suaminya seneng atau tidak. Jika ada yang tidak enak, maka aku ikhlaskan diriku agar suamiku mengambil cambuk tersebut kemudian mencambukku. Ini aku lakukan agar suamiku ridlo dengan diriku. Dan tentu saja melihat tingkah lakuku ini, suamiku begitu tersentuh hatinya. Ia pun ridlo atas diriku. Dan aku pun ridlo atas dirinya”<br />
<br />
“Masya Allah, hanya demi menyenangkan suami, engkau rela melakukan hal ini, Muti’ah?”<br />
“Saya hanya memerlukan keridloannya. Karena istri yang baik adalah istri yang patuh pada suami yang baik dan sang suami ridlo kepada istrinya”<br />
“Ya… ternyata inilah rahasia itu”<br />
“Rahasia apa ya Fatimah?” Mutiah juga penasaran.<br />
“Rasulullah Saw mengatakan bahwa dirimu adalah wanita yang diperkenankan masuk surga pertama kali. Ternyata semua gara-gara baktimu yang tinggi kepada seorang suami yang sholeh.”<br />
<br />
Subhanallah.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03646279938462545085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3575003200595890662.post-16815236715102464382011-03-30T21:43:00.001-07:002011-03-30T21:43:55.427-07:00Kisah cinta yang indahSahabatku sekalian, taukah kalian arti cinta sejati ? Apakah sahabat pernah mendengar atau mengetahui kisah cinta Qais dan Laila atau kisah cinta Romeo dan Juliet ataukah Laila dan Majnun ?<br />
<br />
Apakah kisah cinta seperti itu yang dikatakan sebagai kisah cinta sejati ? Seperti yang sahabat ketahui bahwa kisah cinta mereka tidaklah berakhir di pelaminan bahkan rela mati demi cintanya.<br />
<br />
Lalu, cinta seperti apakah yang dikatakan sebagai cinta sejati. Cinta sejati antara dua insan adalah cinta yang terus abadi dalam setelah pernikahan yang berlandaskan atas kecintaan mereka kepada Sang Pemilik Cinta yaitu Allah 'Azza Wa Jalla. Walaupun salah satu meninggal, namun cinta sejati ini terus saja abadi. Kisah cinta siapakah yang begitu indah ini ?<br />
<br />
Kisah cinta yang paling indah ini siapa lagi yang memilikinya kalau bukan kisah cinta Junjungan kita, Muhammad Saw kepada Khadijah ra.<br />
<br />
Sungguh sebuah cinta yang mengaggumkan, cinta yang tetap abadi walaupun Khadijah telah meninggal. Setahun setelah Khadijah meninggal, ada seorang wanita shahabiyah yang menemui Rasulullah Saw. Wanita ini bertanya, "Ya Rasulullah, mengapa engkau tidak menikah ? Engkau memiliki 9 keluarga dan harus menjalankan seruan besar."<br />
<br />
Sambil menangis Rasulullah Saw menjawab, "Masih adakah orang lain setelah Khadijah?"<br />
<br />
Kalau saja Allah tidak memerintahkan Muhammad Saw untuk menikah, maka pastilah Beliau tidak akan menikah untuk selama-lamanya. Nabi Muhammad Saw menikah dengan Khadijah layaknya para lelaki. Sedangkan pernikahan-pernikahan setelah itu hanya karena tuntutan risalah Nabi Saw, Beliau tidak pernah dapat melupakan istri Beliau ini walaupun setelah 14 tahun Khadijah meninggal.<br />
<br />
Pada masa penaklukan kota Makkah, orang-orang berkumpul di sekeliling Beliau, sementara orang-orang Quraisy mendatangi Beliau dengan harapan Beliau mau memaafkan mereka, tiba-tiba Beliau melihat seorang wanita tua yang datang dari jauh. Beliau langsung meninggalkan kerumunan orang ini. Berdiri dan bercakap-cakap dengan wanita itu. Beliau kemudian melepaskan jubah Beliau dan menghamparkannya ke tanah. Beliau duduk dengan wanita tua itu.<br />
<br />
Bunda Aisyah bertanya, "Siapa wanita yang diberi kesempatan, waktu, berbicara, dan mendapat perhatian penuh Nabi Saw ini?"<br />
<br />
Nabi menjawab, "Wanita ini adalah teman Khadijah."<br />
<br />
"Kalian sedang membicarakan apa, ya Rasulullah?" tanya Aisyah<br />
<br />
"Kami baru saja membicarakan hari-hari bersama Khadijah."<br />
<br />
Mendengar jawaban Beliau ini, Aisyah pun merasa cemburu. "Apakah engkau masih mengingat wanita tua ini (Khadijah), padahal ia telah tertimbun tanah dan Allah telah memberikan ganti untukmu yang lebih baik darinya?"<br />
<br />
"Demi Allah, Allah tidak pernah menggantikan wanita yang lebih baik darinya. Ia mau menolongku di saat orang-orang mengusirku. Ia mau mempercayaiku di saat orang-orang mendustakanku."<br />
<br />
Aisyah merasa bahwa Rasulullah Saw marah. "Maafkan aku, ya Rasulullah."<br />
<br />
"Mintalah maaf kepada Khadijah, baru aku akan memaafkanmu." (Hadits ini diriwayatkan Bukhari dari Ummul Mukminin Aisyah)<br />
<br />
Sahabatku, apakah mungkin ada cinta seperti itu, yang dapat terus abadi setelah orang yang dicintai meninggal 14 tahun yang telah lewat ? Yupz, karena cinta ini tidak pernah didahului hubungan haram dan karena ketaatan kepada Allah menjadi dasar dalam rumah tangga ini. Rumah tangga yang selalu dihiasi dengan dzikir kepada Allah, bukan rumah yang digunakan untuk mengingat setan.<br />
<br />
Bagaimana pendapat kalian, sahabat muda sekalian, apakah kalian tidak ingin menjadikan rumah tangga kalian seperti ini ?. Suami membaca Al-Qur'an bersama istrinya. Betapa agungnya ketika anak-anak mereka turut serta membaca Al-Qur'an. <br />
<br />
Menjelang waktu Shubuh tiba, si istri membangunkan suaminya untuk melaksanakan shalat Shubuh. Suami melaksanakan shalat Qiyaam al-lail 2 rakaat bersama istrinya. Seperti apa rumah ini ? Indah nian bukan ? betapa manisnya, betapa indah cinta di dalam rumah tangga ini.<br />
<br />
Cobalah, pasti kalian dapat menemukan segalanya berubah, cinta pun bertambah, dan Allah melimpahkan berkah-Nya kepada kalian. <br />
<br />
"Menikah jauh lebih baik daripada pacaran"Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03646279938462545085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3575003200595890662.post-34525459717941276382011-03-30T21:42:00.001-07:002011-03-30T21:42:42.590-07:00Kisah sahabatkuSeorang sahabatku, Mimi namanya, kami bersahabat puluhan tahun sejak kami sama-sama duduk di sekolah dasar (SD). Mimi gadis sederhana, anak tunggal seorang juragan sapi perah di wilayah kami, memiliki mata sebening kaca, dan lesung pipit yang manis menawan siapa saja dan akan runtuh hatinya jika memandang senyumnya. Termasuk saya.<br />
<br />
Dan nilai tambahnya adalah dia seorang yang sangat soleha, yang patuh pada kedua orang tuanya. Tetapi Ranu, ‘’don juan'’ yang satu ini juga sangat menyukai Mimi. Track record-nya yang begitu glamor dan mentereng tidak meragukan untuk merebut hati Mimi.<br />
Sedangkan saya, hanya bisa menatap cinta dari balik senyuman tipis ketegaran. Karena saya tidak mau persahabatan kami hancur.<br />
Lambat laun, Mereka pun pacaran dari mulai kelas 1 SMP hingga menikah. Sebagai tetangga sekaligus sahabat yang baik, saya hanya bisa mendukung dan ikut bahagia dengan keadaan tersebut (walaupun hati ini sedikit teriris). Apalagi Mimi dan Ranu saling mendukung. Hingga tiba ketika selesai kuliah, mereka berdua ingin mewujudkan cita-cita bersama, membina keluarga, yang sakinah, mawaddah, dan warohmah.<br />
Namun, namanya hidup pasti ada saja kendalanya, di balik kesejukan melihat hubungan mereka yang adem ayem, orang tua Ranu yang salah satu pejabat di daerah itu, menginginkan Ranu menikahi orang lain pilihan kedua orang tuanya. Namun Ranu rupanya cinta mati dengan Mimi, sehingga mereka memutuskan untuk menikah, sekalipun di luar persetujuan orang tua Ranu. Dan secara otomatis, Ranu diharuskan menyingkir dari percaturan hak waris kedua orang tuanya, disertai sumpah serapah dan segala macam cacian.<br />
Ranu akhirnya melangkah bersama Mimi. Setelah menikah, mereka pergi menjauh keluar dari kota kami, Dumai, menuju Pekanbaru, dengan menjual seluruh harta peninggalan kedua orang tua Mimi yang sudah meninggal.<br />
Masih tajam dalam ingatan, Mimi pergi bergandengan tangan dengan sang kekasih abadi pujaan hatinya Ranu, melenggang pelan bersama mobil yang membawa mereka menuju Kota Bertuah.<br />
Selama setahun, kami masih rutin berkirim kabar. Hingga tahun kelima, di mana aku masih sendiri dan masih menetap tinggal di Dumai, sedang Mimi entah kemana, hilang tak ketahuan rimbanya, setelah surat terakhir mengabarkan bahwa dia melahirkan anak keduanya, kemudian setelah itu kami tidak mendengar kabarnya lagi.<br />
Sampai di suatu siang yang terik, di hari Sabtu, kebetulan saya berada di rumah tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara ketukan pintu kamar. Temanku mengatakan ada tamu dari Pekanbaru. Siapa gerangan? Pikirku ketika itu.<br />
Sejenak aku tertegun ketika melihat sosok perempuan di depan pintu, lupa-lupa ingat, hingga suara perempuan itu mengejutkanku,”Faris….Faris kan!” katanya.<br />
Sejenak, dia ragu-ragu, hingga kemudian berlari merangkulaku, sambil terisak keras di bahuku. Saat itu aku hanya bisa diam tertegun dan tak tahu hendak melakukan apa, meskipun aku tahu dia bukan muhrimku.<br />
Kemudian aku menjauhkannya dari bahuku sambil masih ragu, bergumam pelan, “Mimi…Mimikah?”<br />
Masyaallah…Mimi terlihat lebih tua dari usianya, namun kecantikan alaminya masih terlihat jelas. Badannya kurus dengan jilbab lusuh yang berwarna buram, membawa tas koper berukuran besar yang sudah robek di beberapa bagian.<br />
Semula Mimi terdiam seribu bahasa pada saat aku tanya keadaan Ranu, matanya berkaca-kaca, aku menghela nafas dalam, menunggu jawabannya.<br />
“Mas Ranu, Ris….Mas Ranu sudah berpulang kepada-Nya lima bulan yang lalu.”<br />
Kata-kata Mimi membuatku tercekat beberapa saat, namun sebelum aku sempat menimpali, bertubi-tubi Mimi menangis sambil bercerita, “Mas Ranu kena kanker paru-paru, karena kebiasaannya merokok tiga tahun yang lalu, semua sisa peninggalan orang tuaku sudah habis terjual ludes, untuk biaya berobat, sedang penyakitnya bertambah parah. Keluarga mas Ranu enggan membantu, kamu tahu sendiri kan, aku menantu yang tidak diinginkan, dan ketika Mas Ranu meninggal, orangtuanya masih saja membenciku, mereka sama sekali tidak mau membantu,” katanya.<br />
Dia bercerita, dia bekerja serabutan di Pekanbaru, mulai jadi tukang cuci, pembantu rumah tangga, dan sebagainya, hingga suaminya meninggal. “Keluarganya, hanya memberiku uang sekadarnya untuk penguburan Mas Ranu, hingga aku terpaksa menjual rumah tempat tinggal kami satu-satunya, dan dari sana aku membayar semua tagihan rumah dan hutang-hutang pada tetangga, sisanya aku gunakan untuk berangkat ke Dumai, aku tidak sanggup mengadu nasib di sana Ris,” kata-kata Mimi berhenti di sini, disambut isak tangisnya. Sedang aku yang sedari tadi mendengarkan tak kuasa juga menahan haru yang sudah sedari tadi menyesak di dada.<br />
Mimi tertegun… dia memandangku nanar. kemudian dia mengulurkan tangan, memberikan seuntai kalung emas besar, sisa hartanya.<br />
“Ini untukmu Ris.., aku gadaikan padamu, pinjami aku uang untuk modal usaha, dan kontrak rumah kecil-kecilan, aku tidak mau merepotkanmu lebih dari ini Ris.”<br />
Pelan-pelan aku meraih kalung itu dari meja, menimbang-nimbang, pikiranku melayang menuju sisa uang di amplop, dalam tas. Jumat kemarin aku baru mendapat gaji. Sebagai pegawai di suatu instansi, gajiku sangatlah kecil jika dibandingkan dengan pegawai yang lain tentunya, tapi itulah sisa uangku. Aku mengeluarkan amplop tersebut dari dalam tas, di kamar, semua kuinfaqkan untuk Mimi, semata mata karena ikhlas.<br />
Mimi menatap amplop di tanganku, sejurus kemudian aku meletakkan amplop tersebut di atas meja sambil berkata, “Ini sisa uangku Mimi, kamu ambil, nanti sisanya biar aku pikirkan caranya, kamu butuh modal banyak untuk mulai usaha.”<br />
Singkat cerita, Mimi bisa mulai usahanya dari modal itu, mengontrak rumah kecil di dekat rumah saya.<br />
Alhamdulillah, sekarang di tahun kedua, usahanya sudah menampakkan hasil. Mimi sudah sedemikian mandiri, banyak yang bisa aku contoh dari pribadinya yang kuat yaitu Mimi adalah pejuang sejati, ulet, sabar, dan kreatif.<br />
Mimi tetanggaku kini dan setiap pagi selalu menyapa riang aku, wajah cantiknya kembali bersinar.Dia juga tekun mendengar keluh kesahku pada setiap permasalahan yang aku hadapi setiap harinya, termasuk ketika aku mulai mengeluh tidak betah di kantor sebagai pegawai sekian tahun, atau ketika aku menghadapi badai kemelut usia yang sudah berkepala tiga belum juga menemukan jodoh.<br />
“Faris, Allah tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan seseorang atau Allah lebih tahu apa yang terbaik bagimu, sedangkan kamu tidak.”<br />
Lalu Mimi mengajak aku melihat kepulasan tidur anak-anaknya di ruang tamu yang ia jadikan ruang tidur, sedangkan kamar tidur ia jadikan dapur untuk memasak (sungguh rumah yang mungil). Mereka berjejal pada tempat tidur susun yang reyot, kemudian katanya, “Lihatlah Ris, betapa berat menjalani hidup seorang diri, tanpa bantuan bahu yang lain, kalau tidak terpaksa karena nasib, enggan aku menjalaninya Ris. Sedang kamu, bersyukurlah kamu, masih memiliki masa depan yang panjang.”<br />
Aku pun berhenti dari pekerjaan yang lama, sekarang aku bekerja lebih mapan dari yang dulu. Karena setiap pulang kerja aku melintas di depan rumah Mimi, dan terus memperhatikan ketegarannya, akhirnya Allah menumbuhkan kembali cinta di hatiku. Sampai suatu saat aku pun melamarnya agar hubungan kami dihalalkan oleh syari’at. Mimi hanya bisa menunduk malu dan tersenyum melihat anak-anaknya yang akan memiliki ayah yang baru. Allahu Akbar….<br />
<br />
Rudi Al-Farisi<br />
Pecinta Cerpen dan Sastra Tinggal di Dumai.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03646279938462545085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3575003200595890662.post-76670170580860250492011-03-30T02:05:00.000-07:002011-03-30T02:18:08.748-07:00Dibalik Sebuah Kebohongan Cinta<link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CPEMBIN%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CPEMBIN%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx" rel="themeData"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CPEMBIN%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml" rel="colorSchemeMapping"></link> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Cambria Math";
panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 159 0;}
@font-face
{font-family:Cambria;
panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1073741899 0 0 159 0;}
@font-face
{font-family:Calibri;
panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1073750139 0 0 159 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
margin-top:0cm;
margin-right:0cm;
margin-bottom:10.0pt;
margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
.MsoChpDefault
{mso-style-type:export-only;
mso-default-props:yes;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
.MsoPapDefault
{mso-style-type:export-only;
margin-bottom:10.0pt;
line-height:115%;}
@page Section1
{size:612.0pt 792.0pt;
margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt;
mso-header-margin:36.0pt;
mso-footer-margin:36.0pt;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center;"><br />
<span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12pt;">Mengapa saya kasih judul kayak ginie....<br />
Ya....karena cerita ini adalah cerita tentang sebuah kebohongan cinta.....<br />
Yang merupakan sebuah perbuatan yang mulia ......<br />
Kebohongan yang mengantarkan seseorang menemui kebahagiaan mereka sesungguhnya<br />
By Anwar<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
<br />
<br />
<br />
Sewaktu Boy dan Girl baru pacaran,<br />
<br />
Boy melipat 1000 burung kertas buat Girl,<br />
<br />
menggantungkannya di dalam kamar Girl.<br />
<br />
Boy mengatakan 1000 burung kertas itu menandakan 1000 ketulusan hatinya.<br />
<br />
Waktu itu...<br />
<br />
Girl dan Boy setiap detik selalu merasakan betapa indahnya cinta mereka berdua...<br />
<br />
Tetapi pada suatu saat, Girl mulai menjauhi Boy.<br />
<br />
<br />
Girl memutuskan untuk menikah dan pergi ke Perancis...<br />
<br />
Ke Paris...Tempat yang dia impikan di dalam mimpinya berkali2 itu...<br />
<br />
Sewaktu Girl mau memutuskan Boy, <br />
Girl bilang sama Boy,<br />
<br />
kita harus melihat dunia ini dengan pandangan yang dewasa...<br />
<br />
Menikah bagi cewek adalah kehidupan kedua kalinya...<br />
<br />
Aku harus bisa memegang kesempatan ini dengan baik.<br />
<br />
Kamu terlalu miskin, sungguh aku tidak berani membayangkan<br />
<br />
bagaimana kehidupan kita setelah menikah...!! <br />
<br />
<br />
Setelah Girl pergi ke Perancis,<br />
<br />
Boy bekerja keras...<br />
<br />
dia pernah menjual koran...<br />
<br />
menjadi karyawan sementara...<br />
<br />
bisnis kecil...<br />
<br />
setiap pekerjaan dikerjakan dengan sangat baik dan tekun.<br />
<br />
Sudah lewat beberapa tahun...<br />
<br />
Karena pertolongan teman dan kerja kerasnya,<br />
<br />
akhirnya dia mempunyai sebuah perusahaan.<br />
<br />
Dia sudah kaya, tetapi hatinya masih tertuju pada Girl,<br />
<br />
dia masih tidak dapat melupakannya. <br />
<br />
<br />
Pada suatu hari... waktu hujan,<br />
<br />
Boy dari mobilnya melihat sepasang orang tua berjalan sangat pelan di depan.<br />
<br />
Dia mengenali mereka, mereka adalah orang-tua Girl....<br />
<br />
Dia ingin mereka lihat kalau sekarang Boy tidak hanya mempunyai mobil pribadi,<br />
<br />
tetapi juga mempunyai villa dan perusahaan sendiri,<br />
<br />
ia ingin mereka tahu kalau dia bukan seorang yang miskin lagi, dia sekarang adalah seorang Boss. <br />
<br />
<br />
Boy mengendarai mobilnya sangat pelan sambil mengikuti sepasang orang-tua tersebut.<br />
<br />
Hujan terus turun tanpa henti, biarpun kedua orang-tua itu memakai payung, <br />
<br />
tetapi badan mereka tetap basah karena hujan. <br />
<br />
<br />
Sewaktu mereka sampai tempat tujuan,<br />
<br />
Boy tercegang oleh apa yang ada di depan matanya, itu adalah tempat pemakaman. <br />
<br />
<br />
Dia melihat di atas papan nisan Girl tersenyum sangat manis terhadapnya.<br />
<br />
Di samping makamnya yang kecil, tergantung burung2 kertas yang dibuatkan Boy.<br />
<br />
Dalam hujan, burung2 kertas itu terlihat begitu hidup,<br />
<br />
Orang-tua Girl memberitahu Boy,<br />
<br />
Girl tidak pergi ke Paris ,<br />
<br />
Girl terserang kanker,<br />
<br />
Girl pergi ke surga.<br />
<br />
Girl ingin Boy menjadi orang,<br />
<br />
mempunyai keluarga yang harmonis,<br />
<br />
maka dengan terpaksa berbuat demikian terhadap Boy dulu.<br />
<br />
Girl bilang dia sangat mengerti Boy,<br />
<br />
dia percaya kalau Boy pasti akan berhasil.<br />
<br />
Girl mengatakan...<br />
<br />
kalau pada suatu hari Boy akan datang ke makamnya <br />
<br />
dan berharap dia membawakan beberapa burung kertas buatnya lagi.<br />
<br />
Boy langsung berlutut,<br />
<br />
berlutut di depan makam Girl,<br />
<br />
menangis dengan begitu sedihnya.<br />
<br />
Hujan pada hari itu terasa tidak akan berhenti,<br />
<br />
membasahi sekujur tubuh Boy.<br />
<br />
Boy teringat senyum manis Girl yang begitu manis dan polos, <br />
<br />
<br />
Mengingat semua itu,<br />
<br />
hatinya mulai meneteskan darah...<br />
<br />
Sewaktu orang-tua itu keluar dari pemakaman,<br />
<br />
mereka melihat kalau Boy sudah membukakan pintu mobil untuk mereka.<br />
<br />
Lagu sedih terdengar dari dalam mobil tersebut. <br />
<br />
<br />
"Hatiku tidak pernah menyesal,<br />
<br />
semuanya hanya untukmu 1000 burung kertas,<br />
<br />
1000 ketulusan hatiku,<br />
<br />
beterbangan di dalam angin<br />
<br />
menginginkan bintang yang lebat besebaran di langit...<br />
<br />
melewati sungai perak,<br />
<br />
apakah aku bisa bertemu denganmu?<br />
<br />
Tidak takut berapapun jauhnya,<br />
<br />
hanya ingin sekarang langsung berlari ke sampingmu.<br />
<br />
Masa lalu seperti asap...<br />
<br />
hilang dan tak kan kembali...<br />
<br />
menambah kerinduan di hatiku...<br />
<br />
Bagaimanapun dicari,<br />
<br />
jodoh kehidupan ini pasti tidak akan berubah.."</span><span style="font-family: "Cambria","serif";"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03646279938462545085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3575003200595890662.post-20341500433213342682011-03-30T02:03:00.000-07:002011-03-30T02:03:36.015-07:00Masihkah Ada Laki - Laki Seperti Ini ??<link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CPEMBIN%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CPEMBIN%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx" rel="themeData"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CPEMBIN%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml" rel="colorSchemeMapping"></link> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Cambria Math";
panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 159 0;}
@font-face
{font-family:Calibri;
panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1073750139 0 0 159 0;}
@font-face
{font-family:"Times New\000D\000A Roman";
panose-1:0 0 0 0 0 0 0 0 0 0;
mso-font-alt:"Times New Roman";
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-format:other;
mso-font-pitch:auto;
mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;}
@font-face
{font-family:"Times New \000D\000ARoman";
panose-1:0 0 0 0 0 0 0 0 0 0;
mso-font-alt:"Times New Roman";
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-format:other;
mso-font-pitch:auto;
mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;}
@font-face
{font-family:"Times \000D\000ANew Roman";
panose-1:0 0 0 0 0 0 0 0 0 0;
mso-font-alt:"Times New Roman";
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-format:other;
mso-font-pitch:auto;
mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
margin-top:0cm;
margin-right:0cm;
margin-bottom:10.0pt;
margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
.MsoChpDefault
{mso-style-type:export-only;
mso-default-props:yes;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
.MsoPapDefault
{mso-style-type:export-only;
margin-bottom:10.0pt;
line-height:115%;}
@page Section1
{size:612.0pt 792.0pt;
margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt;
mso-header-margin:36.0pt;
mso-footer-margin:36.0pt;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Cinta<br />
Keserhanaan kataya seolah menyembunyikan makna yang indah didalamnya<br />
Karena dengan cinta orang bisa melakukan perbuatan yang mulia yang tak seorangpun mampu menduganya<br />
Cinta mampu membuat mahluk menjadi sangat perkasa dalam mengarungi hidup ,<br />
Kuat menghadapi ujian dan dalam menerma semua cobaan <br />
Ya itulah cinta<br />
Peliharalah cinta seolah memelihara nyawamu sendiri<br />
Karena dengan cinta akan membawa kita ke dunia yang penuh kebahagiaan <br />
(by Anwar)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 12pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
<br />
<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Kalau kita laki....bisakah kita seperti ini ??!!!!<br />
Itulah sebuah pertanyaan yang terus mengaung seolah tersirat tak sadar di dalam cerita ini <br />
Cerita ini adalah cerita tmenQ yang ia tulis diforumnya<br />
</span><span style="font-size: 12pt;">Sayang kalau cerita ini....hanya satu dua orang yang membacanya.....oleh karena itu saya posting disini untuk sekedar penambah inspirasi kepada kita semua</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Dilihat dari usianya beliau sudah tidak muda lagi, usia yg sudah senja<br />
<br />
bahkan sudah mendekati malam,pak Suyatno 58 tahun kesehariannya diisi<br />
<br />
dengan merawat istrinya yang sakit istrinya juga sudah tua. mereka menikah<br />
<br />
sudah lebih 32 tahun<br />
<br />
<br />
Mereka dikarunia 4 orang anak disinilah awal cobaan menerpa,setelah<br />
<br />
istrinya melahirkan anak ke empat tiba2 kakinya lumpuh dan tidak bisa<br />
<br />
digerakkan itu terjadi selama 2 tahun, menginjak tahun ke tiga seluruh<br />
<br />
tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang lidahnyapun sudah<br />
<br />
tidak bisa digerakkan lagi.<br />
<br />
<br />
Setiap hari pak suyatno memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi, dan<br />
<br />
mengangkat istrinya keatas tempat tidur. Sebelum berangkat kerja dia<br />
<br />
letakkan istrinya didepan TV supaya istrinya tidak merasa kesepian.<br />
<br />
<br />
Walau istrinya tidak dapat bicara tapi dia selalu melihat istrinya<br />
<br />
tersenyum, untunglah tempat usaha pak suyatno tidak begitu jauh dari<br />
</span><span style="font-size: 12pt;"><br />
rumahnya sehingga siang hari dia pulang untuk menyuapi istrinya makan</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
<br />
siang. sorenya dia pulang memandikan istrinya, mengganti pakaian dan<br />
<br />
selepas maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan<br />
<br />
apa2 saja yg dia alami seharian.<br />
<br />
<br />
Walaupun istrinya hanya bisa memandang tapi tidak bisa menanggapi, pak<br />
<br />
suyatno sudah cukup senang bahkan dia selalu menggoda istrinya setiap<br />
<br />
berangkat tidur.<br />
<br />
<br />
Rutinitas ini dilakukan pak suyatno lebih kurang 25 tahun, dengan sabar dia<br />
<br />
merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke empat buah hati mereka,<br />
<br />
sekarang anak2 mereka sudah dewasa tinggal si bungsu yg masih kuliah.<br />
<br />
<br />
Pada suatu hari ke empat anak suyatno berkumpul dirumah orang tua mereka<br />
<br />
sambil menjenguk ibunya. Karena setelah anak mereka menikah sudah tinggal<br />
<br />
dengan keluarga masing2 dan pak suyatno memutuskan ibu mereka Dia yg<br />
<br />
merawat, yang dia inginkan hanya satu semua anaknya berhasil.<br />
<br />
</span><span style="font-size: 12pt;"><br />
Dengan kalimat yg cukup hati2 anak yg sulung berkata " Pak kami ingin</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
<br />
sekali merawat ibu, semenjak kami kecil melihat bapak merawat ibu tidak ada<br />
<br />
sedikitpun keluhan keluar dari bibir bapak.bahkan bapak tidak ijinkan kami<br />
<br />
menjaga ibu" .<br />
<br />
<br />
dengan air mata berlinang anak itu melanjutkan kata2nya "sudah yg keempat<br />
<br />
kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi ,kami rasa ibupun akan<br />
<br />
mengijinkannya, kapan bapak menikmati masa tua bapak dengan berkorban<br />
<br />
seperti ini kami sudah tidak tega melihat bapak,kami janji kami akan<br />
<br />
merawat ibu bergantian".<br />
<br />
<br />
Pak suyatno menjawab hal yg sama sekali tidak diduga anak2 mereka." Anak2ku<br />
<br />
Jikalau hidup didunia ini hanya untuk nafsu Mungkin bapak akan menikah,<br />
<br />
tapi ketahuilah dengan adanya ibu kalian disampingku itu sudah lebih dari<br />
<br />
cukup, dia telah Melahirkan kalian".. sejenak kerongkongannya tersekat,<br />
<br />
kalian yg selalu kurindukan hadir didunia ini dengan penuh cinta yg tidak<br />
<br />
satupun dapat menghargai dengan apapun. coba kalian tanya ibumu apakah dia<br />
<br />
menginginkan keadaanya seperti Ini. kalian menginginkan bapak bahagia,<br />
<br />
apakah bathin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya<br />
<br />
sekarang". kalian menginginkan bapak yg masih diberi Allah kesehatan<br />
<br />
dirawat oleh orang lain bagaimana dengan ibumu yg masih sakit. Sejenak<br />
<br />
meledaklah tangis anak2 pak suyatno merekapun melihat butiran2 kecil jatuh<br />
<br />
dipelupuk mata ibu suyatno..dengan pilu ditatapnya mata suami yg sangat<br />
<br />
dicintainya itu..<br />
<br />
<br />
Sampailah akhirnya pak suyatno diundang oleh salah satu stasiun TV swasta<br />
<br />
untuk menjadi nara sumber diacara islami Selepas shubuh dan merekapun<br />
<br />
mengajukan pertanyaan kepada pak suyatno kenapa mampu bertahan selama 25<br />
<br />
tahun merawat Istrinya yg sudah tidak bisa apa2..disaat itulah meledak<br />
<br />
tangis beliau dengan tamu yg hadir di studio kebanyakan kaum perempuanpun<br />
<br />
tidak sanggup menahan haru disitulah pak suyatno bercerita".<br />
<br />
<br />
Jika manusia didunia ini mengagungkan sebuah cinta tapi dia tidak mencintai<br />
<br />
karena Allah semuanya akan luntur. Saya memilih istri saya menjadi<br />
</span><span style="font-size: 12pt;"><br />
pendamping hidup saya, dan sewaktu dia sehat diapun dengan sabar merawat</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
</span><span style="font-size: 12pt;"><br />
saya, mencintai saya dengan hati dan bathinnya bukan dengan mata, dan dia</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
<br />
memberi saya 4 orang anak yg lucu2..<br />
<br />
<br />
Sekarang dia sakit berkorban untuk saya karena Allah..dan itu merupakan<br />
<br />
ujian bagi saya, sehatpun belum tentu saya mencari penggantinya apalagi dia<br />
<br />
sakit,,,setiap malam saya bersujud dan menangis dan saya dapat bercerita<br />
<br />
kepada Allah<br />
<br />
<br />
Diatas sajadah..dan saya yakin hanya kepada Allah saya percaya untuk<br />
<br />
menyimpan dan mendengar rahasia saya<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03646279938462545085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3575003200595890662.post-88116803605475664042011-03-30T02:02:00.000-07:002011-03-30T02:02:12.255-07:00Jangan Menunggu Esok Untuk Katakan Cinta<div xmlns="http://www.w3.org/1999/xhtml"><div align="center"><span style="color: #663333; font-family: Times New Roman;">Terkadang kita tak sadar betapa betapa banyak yang penting dalam kehidupan kita</span><br />
<span style="color: #663333; font-family: Times New Roman;">Waktu...ya..waktu adalah salah satu dari ribuan hal penting yang kita punya </span><br />
<span style="color: #663333; font-family: Times New Roman;">Pi...tak jarang kita luput karenanya..</span></div><span style="color: #663333; font-family: Times New Roman;"><br />
</span><div align="center"><span style="color: #663333; font-family: Times New Roman;">Sebuah kisah yang pilu tentang cinta dan waktu......</span><br />
<span style="color: #663333; font-family: Times New Roman;">Tentang pengungkapan cinta dan waktu yang ia punya untuk cinta itu.....</span><br />
<span style="color: #663333; font-family: Times New Roman;">Jangan sia siakan waktu kita ...</span><br />
<span style="color: #663333; font-family: Times New Roman;">Apa yang kita bisa buat sekarang maka jangan tunda </span><br />
<div align="center"><span style="color: #663333; font-family: Times New Roman;">Lakukanlah....!!!</span></div><span style="color: #663333; font-family: Times New Roman;">Ungkapkan cinta kepada yang dicintai lakukan lakukanlah....!!!sebelum terlambat...<br />
(By Anwar)</span><br />
<span style="color: #663333;"><span style="font-family: Times New Roman;"><br />
</span></span></div><span style="color: #663333; font-family: Times New Roman;">Ini adalah cerita dari temen saya di forum...<br />
Karen terharunya saya ingin mengabadikan tulisanya di blogku ini...<br />
Selamat membaca ya......^.^<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Segalanya berawal ketika saya masih berumur 6 th. <br />
<br />
<br />
Ketika saya sedang bermain di halaman rumah saya di Surabaya, saya bertemu <br />
<br />
seorang anak laki-laki. Dia seperti anak laki-laki lainnya yang menggoda saya dan kemudian saya mengejarnya dan memukulnya. <br />
<br />
<br />
Setelah pertemuan pertama dimana saya memukulnya, kami selalu bertemu dan <br />
<br />
saling memukul satu sama lain di batas pagar itu. Tapi itu tidaklah<br />
lama. Kami selalu bertemu di pagar itu dan kami selalu bersama. Saya<br />
menceritakan semua rahasia saya. <br />
<br />
<br />
Dia sangat pendiam... dia hanya mendengarkan apa yang saya katakan.<br />
Saya menganggap dia enak diajak bicara dan saya dapat berbicara<br />
kepadanya tentang apa saja. <br />
<br />
Di sekolah, kami memiliki teman-teman yang berbeda tapi ketika kami<br />
pulang kerumah, kami selalu berbicara tentang apa yang terjadi di<br />
sekolah. <br />
<br />
<br />
Suatu hari,saya bercerita kepadanya tentang anak laki-laki yang saya<br />
sukai tetapi telah menyakiti hati saya.... Dia menghibur saya dan<br />
mengatakan segalanya akan beres. Dia memberikan kata-kata yang<br />
mendukung dan membantu saya untuk melupakannya. <br />
<br />
<br />
Saya sangat bahagia dan menganggapnya sebagai teman sejati. Tetapi saya<br />
tahu bahwa sesungguhnya ada yang lainnya dari dirinya yang saya suka.<br />
Saya memikirkannya malam itu dan memutuskan kalau itu adalah rasa<br />
persahabatan. <br />
<br />
<br />
Selama SMA dan semasa kelulusan, kami selalu bersama dan tentu saja<br />
saya berpikir bahwa ini adalah persahabatan. Tetapi jauh di lubuk hati,<br />
saya tahu bahwa ada sesuatu yang lain. <br />
<br />
Pada malam kelulusan, meskipun kami memiliki pasangan sendiri-sendiri,<br />
sesungguhnya saya menginginkan bahwa sayalah yang menjadi pasangannya. <br />
<br />
<br />
Malam itu, setelah semua orang pulang, saya pergi ke rumahnya untuk <br />
<br />
mengatakannya. Malam itu adalah kesempatan terbesar yang saya miliki<br />
tapi saya hanya duduk di sana dan memandangi bintang bersamanya dan<br />
bercakap-cakap tentang cita-cita kami. Saya melihat ke matanya dan<br />
mendengarkan ia bercerita tentang impiannya. Bagaimana dia ingin<br />
menikah dan sebagainya. Dia bercerita bagaimana dia ingin menjadi orang<br />
kaya dan sukses. Yang dapat saya lakukan hanya menceritakan impian saya<br />
dan duduk dekat dengan dia. <br />
<br />
<br />
Saya pulang ke rumah dengan terluka karena saya tidak mengatakan<br />
perasaan saya yang sebenarnya. Saya sangat ingin mengatakan bahwa saya<br />
sangat mencintainya tapi saya takut. Saya membiarkan perasaan itu pergi<br />
dan berkata kepada diri saya sendiri bahwa suatu hari saya akan<br />
mengatakan kepadanya mengenai perasaan saya. <br />
<br />
<br />
Selama di universitas, saya ingin mengatakan kepadanya tetapi dia<br />
selalu bersama-sama dengan seseorang. Setelah lulus, dia mendapatkan<br />
pekerjaan di Jakarta. Saya sangat gembira untuknya, tapi pada saat<br />
yang sama saya sangat bersedih menyaksikan kepergiannya. Saya sedih<br />
karena saya menyadari ia pergi untuk pekerjaan besarnya. Jadi... saya<br />
menyimpan perasaan saya untuk diri saya sendiri dan melihatnya pergi<br />
dengan pesawat. <br />
<br />
<br />
Saya menangis ketika saya memeluknya karena saya merasa seperti ini<br />
adalah saat terakhir. Saya pulang ke rumah malam itu dan menangis. Saya<br />
merasa terluka karena saya tidak mengatakan apa yang ada di hati saya. <br />
<br />
<br />
Saya memperoleh pekerjaan sebagai sekretaris dan akhirnya menjadi<br />
seorang analis komputer. Saya sangat bangga dengan prestasi saya. Suatu<br />
hari saya menerima undangan pernikahan. Undangan itu darinya. Saya<br />
bahagia dan sedih pada saat yang bersamaan. <br />
<br />
<br />
Sekarang saya tahu kalau saya tak akan pernah bersamanya dan kami hanya<br />
bisa menjadi teman. Saya pergi ke pesta pernikahan itu bulan<br />
berikutnya. Itu adalah sebuah peristiwa besar. Saya bertemu dengan<br />
pengantin wanita dan tentu saja juga dengannya. <br />
<br />
<br />
Sekali lagi saya merasa jatuh cinta. Tapi saya bertahan agar tidak<br />
mengacaukan apa yang seharusnya menjadi hari paling bahagia bagi<br />
mereka. Saya mencoba bersenang-senang malam itu, tapi sangat<br />
menyakitkan hati melihat dia begitu bahagia dan saya mencoba untuk<br />
bahagia menutupi air mata kesedihan yang ada di hati saya. <br />
<br />
<br />
Saya meninggalkan Jakarta merasa bahwa saya telah melakukan hal yang<br />
tepat. Sebelum saya berangkat... tiba-tiba dia muncul dan mengucapkan<br />
salam perpisahan dan mengatakan betapa ia sangat bahagia bertemu dengan<br />
saya. Saya pulang ke rumah dan mencoba melupakan semua yang terjadi di Jakarta. <br />
<br />
<br />
Kehidupan saya harus terus berjalan. Tahun-tahun berlalu... kami saling<br />
menulis surat dan bercerita mengenai segala hal yang terjadi dan<br />
bagaimana dia merindukan untuk berbicara dengan saya. <br />
<br />
Pada suatu ketika, dia tak pernah lagi membalas surat saya. Saya sangat<br />
kuatir mengapa dia tidak membalas surat saya meskipun saya telah<br />
menulis 6 surat kepadanya.. <br />
<br />
<br />
<br />
Ketika semuanya seolah tiada harapan, tiba-tiba saya menerima sebuah<br />
catatan kecil yang mengatakan: "Temui saya di pagar dimana kita biasa<br />
bercakap-cakap" <br />
<br />
Saya pergi ke sana dan melihatnya di sana. Saya sangat bahagia<br />
melihatnya tetapi dia sedang patah hati dan bersedih. Kami berpelukan<br />
sampai kami kesulitan untuk bernafas. <br />
<br />
<br />
Kemudian ia menceritakan kepada saya tentang perceraian dan mengapa dia<br />
tidak pernah menulis surat kepada saya. Dia menangis sampai dia tak<br />
dapat menangis lagi... Akhirnya kami kembali ke rumah dan bercerita dan<br />
tertawa tentang apa yang telah saya lakukan mengisi waktu. Akan tetapi,<br />
saya tetap tidak dapat mengatakan kepadanya bagaimana perasaan saya<br />
yang sesungguhnya kepadanya. <br />
<br />
<br />
Hari-hari berikutnya... dia gembira dan melupakan semua masalah dan<br />
perceraiannya. Saya jatuh cinta lagi kepadanya. Ketika tiba saatnya dia<br />
kembali ke Jakarta, saya menemuinya dan menangis. Saya benci<br />
melihatnya harus pergi. Dia berjanji untuk menemui saya setiap kali dia<br />
mendapat libur. <br />
<br />
<br />
Saya tak dapat menunggu saat dia datang sehingga saya dapat bersamanya. Kami selalu bergembira ketika sedang bersama. <br />
<br />
Suatu hari dia tidak muncul sebagaimana yang telah dijanjikan. Saya<br />
berpikir bahwa mungkin dia sibuk. Hari berganti bulan dan saya<br />
melupakannya. <br />
<br />
<br />
Suatu hari saya mendapat sebuah telepon dari Jakarta. Pengacara<br />
mengatakan bahwa ia telah meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil dalam<br />
perjalanan ke airport. Hati saya patah. Saya sangat terkejut akan<br />
kejadian ini . Sekarang saya tahu... mengapa ia tidak muncul hari itu.<br />
Saya menangis semalaman. <br />
<br />
<br />
Air mata kesedihan dan kepedihan. Bertanya-tanya mengapa hal ini bisa <br />
<br />
terjadi terhadap seseorang yang begitu baik seperti dia? <br />
<br />
<br />
Saya mengumpulkan barang-barang saya dan pergi ke Jakarta untuk<br />
pembacaan surat wasiatnya. Tentu saja semuanya diberikan kepada<br />
keluarganya dan mantan istrinya. Akhirnya saya dapat bertemu dengan<br />
mantan istrinya lagi setelah terakhir kali saya bertemu pada pesta<br />
pernikahan. Dia menceritakan bagaimana mantan suaminya. Tapi suaminya<br />
selalu tampak tidak bahagia. <br />
<br />
<br />
Apapun yang dia kerjakan... tidak bisa membuat suaminya bahagia seperti<br />
saat pesta pernikahan mereka. Ketika surat wasiat dibacakan,<br />
satu-satunya yang diberikan kepada saya adalah sebuah diary. <br />
<br />
<br />
Itu adalah diary kehidupannya. Saya menangis karena itu diberikan<br />
kepada saya. Saya tak dapat berpikir... Mengapa ini diberikan kepada<br />
saya? <br />
<br />
<br />
Saya mengambilnya dan terbang kembali ke Surabaya. <br />
<br />
Ketika saya di pesawat, saya teringat saat-saat indah yang kami miliki bersama. <br />
<br />
<br />
Saya mulai membaca diary itu. Diary dimulai ketika hari pertama kami <br />
<br />
berjumpa. Saya terus membaca sampai saya mulai menangis. Diary itu<br />
bercerita bahwa dia jatuh cinta kepada saya di hari ketika saya patah<br />
hati. Tapi dia takut untuk mengatakannya kepada saya. <br />
<br />
<br />
Itulah sebabnya mengapa dia begitu diam dan mendengarkan segala<br />
perkataan saya. Diary itu menceritakan bagaimana dia ingin<br />
mengatakannya kepada saya berkali-kali, tetapi takut. Diary itu<br />
bercerita ketika dia ke Jakarta dan jatuh cinta dengan yang lain.<br />
Bagaimana dia begitu bahagia ketika bertemu dan berdansa dengan saya di<br />
hari pernikahannya. <br />
<br />
<br />
Dia berkata bahwa ia membayangkan bahwa itu adalah pernikahan kami. <br />
<br />
<br />
Bagaimana dia selalu tidak bahagia sampai akhirnya harus menceraikan <br />
<br />
istrinya. Saat-saat terindah dalam kehidupannya adalah ketika membaca huruf demi huruf yang saya tulis kepadanya. <br />
<br />
<br />
Akhirnya diary itu berakhir dengan tulisan, "Hari ini saya akan mengatakan kepadanya kalau saya mencintainya" <br />
<br />
<br />
Itu adalah hari dimana dia terbunuh. Hari dimana pada akhirnya saya akan mengetahui apa yang sesungguhnya ada dalam hatinya. <br />
<br />
<br />
Jika engkau mencintai seseorang, "JANGAN TUNGGU ESOK HARI UNTUK<br />
MENGATAKAN KEPADANYA" karena esok hari itu... mungkin takkan pernah ada</span></div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03646279938462545085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3575003200595890662.post-31981178092616672642011-03-30T02:00:00.000-07:002011-03-30T02:00:13.984-07:00Tak bisakah dia Romantis<br />
<link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CPEMBIN%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CPEMBIN%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx" rel="themeData"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CPEMBIN%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml" rel="colorSchemeMapping"></link> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Cambria Math";
panose-1:0 0 0 0 0 0 0 0 0 0;
mso-font-charset:1;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-format:other;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;}
@font-face
{font-family:Calibri;
panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1073750139 0 0 159 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
margin-top:0cm;
margin-right:0cm;
margin-bottom:10.0pt;
margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
.MsoChpDefault
{mso-style-type:export-only;
mso-default-props:yes;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
.MsoPapDefault
{mso-style-type:export-only;
margin-bottom:10.0pt;
line-height:115%;}
@page Section1
{size:612.0pt 792.0pt;
margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt;
mso-header-margin:36.0pt;
mso-footer-margin:36.0pt;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Gerimis malam itu masih saja belum reda. Aku tetap saja menanti berhentinya kereta api di stasiun Gambir, menunggu kepulangan Abim yang selalu kunantikan suara lembutnya.Jujur aku sangat rindu padanya dan rindu itu kurasa amat menyekam setelah hampir satu tahun ini kami terpisah pada jarak. Abim berkuliah di yogyakarta sedangkan aku sendiri meneruskan kuliahku di Jakarta.Kereta api sudah berhenti dan penumpang berhuyung-huyung turun. Mataku sibuk mencari Abim diantara kerumunan orang berlalu-lalang. Namun sayang tak kudapati Abim di sana. Janjinya untuk datang menemuiku kurasa hanya janji belaka. Kesetiaanku menunggunya di stasiun selama dua jam berlalu begitu saja. Amat dingin kurasa udara malam itu, tapi hatikulah yang lebih merasakan dingin. Mimpiku yang saat itu akan kurasakan pelukan hangat Abim serasa melayang jauh bersama sepinya stasiun. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Aku masih saja berdiri termangu. Mataku sudah basah akan air mata, menahan gejola hatiku yang kian membara. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“hai…lama ya nunggu aku” ucap seseorang lembut.Aku berbalik arah. Mataku melotot terkejut melihat Abim telah berdiri di depanku seraya nyunggingin senyum manisnya. Aku hanya tersenyum haru dan semenit kemudian aku segera merangkul Abim, melepaskan kerindukanku padanya selama ini. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“kamu membuatku hampir menangis Bim” ucapku di sela isakan tangisku. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“bukan hampir tapi emang sudah kan?” canda Abim. Aku memukul kecil dada Abim. Merasa haru sekaligus bahagia. Abim hanya tertawa kecil dan mendekapku erat. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“kita pulang yuk..” ajak Abim.</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Aku termangu sesaat. Kecupan lembut yang begitu kurindukan tak kudapati saat itu. Sikap Abim yang selau kaku tetap kudapati meski telah satu tahun kami terpisah pada jarak. Jujur Abim bukanlah tipe cowok romantis. Abim adalah cowok tegas dan bijaksana yang tak pernah memberiku belaian lembut kecuali dengan canda dan leluconnya. Namun begitu aku selalu sayang dan cinta dia. Aku sendiri yakin bahwa Abim juga mencintaiku. Buktinya selama lebih tiga tahun kami pacaran tak sekalipun Abim menyakitiku. Abim selau membuatku tertawa diantara nada-nada humornya. Selama kami pacaran Cuma sekali Abim menciumku ketika aku ulang tahun dan itupun juga di kening. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“he..kok ngelamun sih, pulang yuk.” Kata Abim mengagetkanku. Aku mengangguk pelan dan membiarkan Abim menggandeng tanganku. Ada yang janggal saat itu kurasakan. Ya.. Abim mau menggandengku. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Satu jam telah berlalu sia-sia. Abim tak kunjung datang malam itu sesuai janjinya untuk menemuiku di taman. Aku hanya sabar menunggu meski setiap menit malam itu kurasakan penuh dengan rasa iri ketika melihat pasangan adam dan hawa yang tengah memadu kasih. Romantis sekali. Aku jadi teringat akan kata-kata Mita tadi siang yang membuat perasaanku bimbang. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“menurut gue pacaran tanpa belaian dan ciuman itu ibarat makan tanpa lauk, kurang lengkap.” Ceplos Mita mengomentariku ketika kuceritakan tentang sikap Abim selama kami pacaran. Mendengar komentar Mita aku hanya tertunduk. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“coba elo pikir selama elo pacaran apa yang sudah Abim kasih ke elo. Cuma kasih sayang? Itu kurang non, apa elo cukup puas dengan ngerasain kasih sayang itu dan apa elo sudah pernah dapat wujud dari kasih sayang itu?” </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“maksud elo?”tanyaku tak mengerti. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“misalnya kalau dia apel dia ngasih setangkai mawar buat elo atau setidaknya dia mencium kening elo sebagai ungkapan dia sayang dan cinta sama elo” </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“Abim memang tidak pernah melakukannya Mit…” kataku datar. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“lha trus kenapa elo betah. Cowok nggak romantis gitu kenapa masih elo pertahankan. Bisa makan ati tahu nggak! Boro-boro elo dibelai dipegang saja tidak. Menurut gue cowok seperti itu tidak bisa menghargai arti cinta. Elo benda hidup Rini yang kadang juga ingin disentuh, tapi sayangnya elo bego jika harus rela menyerahkan hati elo pada dia.” ucap Mita panjang lebar yang selalu mengiang-ngiang di telingaku. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Apa benar kata Mita? Entahlah aku sendiri tak mengerti. Kadang aku sendiri sempat berfikir apa benar Abim mencintaiku, karena selama ini Abim tak sekalipun membelaiku ketika dia apel. Hatiku benar-benar sakit mengingat itu semua. Abim bukanlah tipe cowok romantis yang selau kuimpikan, Abim yang selau bersikap biasa bila bersamaku dan anehnya semua itu kujalani begitu saja selama tiga tahun lebih Bukan waktu yang singkat memang, karena itu aku selalu berusaha menepis jauh-jauh kegundahanku soal cowok romantis. Tapi tidak dengan malam itu. Ketidaksabaranku menunggu Abim yang molor datang membuatku semakin yakin kalau Abim tidak menyayangiku ataupun mencintaiku. Hubungan itu hanya sebagai hubungan berstatus pacaran tapi tanpa cinta. Meskipun tiga tahun yang lalu Abim resmi mengikrarkan cintanya padaku. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“kamu lama ya menugguku? Maaf mobilku mogok tadi” kata Abim menghentikan niatku yang ingin meniggalkan taman saat itu juga. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“tidak ada alasan lain?” tanyaku sinis. Abim menatapku janggal. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“kamu marah Rin?”, tanya Abim datar.Aku hanya acuh tak acuh. Aku ingin tahu bagaimana reaksi Abim jika melihat aku marah. Aku ingin Abim mengerti apa yang aku iginkan, menjadi cowok romantis itulah mimpiku. Tidak seperti saat itu. Aku dan Abim duduk dalam jarak setengah meter. Tidak dekat dan mesra-mesraan seperti pasangan lain malam itu. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“Rin maafin aku, tapi mobilku emang tadi mogok.” </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“kamu kan bisa telepon atau sms aku bim, bukan dengan cara membiarkanku menuggumu kayak gini.” </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“aku lupa bawa Hp Rin.”, ucapnya pelan. Aku tetap tak mengindahkannya. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“kamu tahu tidak bim, malam ini aku semakin yakin kalau kamu memang tidak pernah serius mencintaiku” paparku tersendat. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“Rin kenapa kamu bicara seperti itu. Apa kamu kira selama tiga tahun lebih kita pacaran aku hanya iseng saja. Aku pikir kamu bisa paham tentang aku, tapi nyatanya…” </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“ya aku memang tidak paham tentang kamu. Kamu yang kaku dan beku bila di sampingku yang tidak pernah membelaiku dan mengucapkan kalimat-kalimat indah di telingaku. Kamu yang cuma sekali mencium dan berkata aku cinta kamu. Kamu yang tidak memberiku perhatian-perhatian romantis selama ini. Kamu..kamu bim membuatku muak dengan semua ini”, kataku dengan nada tersendat. Mataku telah tergenang air hangat dan aku sunguh tidak sanggup lagi membendungnya. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“jadi kamu pikir cinta cuma bisa diungkapkan dengan keromantisan Rin, kamu kira apa hubunga kita terjalin tanpa rasa apa-apa dariku?”, tanya Abim. Aku masih terdiam bisu dalam tangisku. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“Rin..selama ini aku mengira kamu sudah mengerti banyak tentang aku, tapi ternyata aku salah. Kamu bukan Riniku yang dulu..” </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“kamu memang salah menilai aku dan akupun juga salah menilai kamu. Menilai tentang hatimu dan tentang cintamu selama ini” </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“perlu kamu tahu Rin aku sangat mencintaimu dan sayangnya rasa cintaku ini harus kamu tuntut dengan keromantisan” </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“aku tidak bermaksud menuntut bim, aku cuma ingin hubungan kita indah seperti orang lain” </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“wujud dari keindahan itu bukan terletak pada keromantisan Rin tapi terletak pada cinta itu sendiri. Aku tidak pernah membelai dan menciummu karena aku menghormati cinta kita. Aku tidak ingin hubungan kita menjadi ternoda dengan hal-hal yang dimulai dari belaian ataupun ciuman. Aku sayang kamu dan dengan itulah aku bisa buktikan seberapa dalam aku mencintaimu”Dadaku berdesir seketika. Segera kutatap mata teduh Abim. Disana kudapati keteduhan cinta dan kasihnya. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“Rin…jika kamu anggap cinta cuma bisa dinyatakan dengan sentuhan-sentuhan keromantisan itu salah. Cinta bukan cuma itu saja. Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa menjaga hubungan suci itu tetap suci sampai kita benar-benar terikat pada hubungan yang halal. Selama ini aku kira kamu bisa mengrti itu semua. Tapi aku salah dan untuk itu aku minta maaf jika aku tidak bisa menjadi seperti apa yang kamu mau” </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“Bim aku cuma..”, ucapku tak kuteruskan.Ada rasa sesak yang keluar begitu saja di hatiku. Aku telah melukai Abim dan itu bisa kulihat dari kalimat datarnya. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">“kamu tidak salah Rin dalam hal ini. Dan sepautnya aku melepaskanmu malam ini, membiarkanmu mencari cowok romantis seperti harapmu. Jangan kamu kira aku tidak pernah mencintaimu, karena itu membuatku terluka. Jujur selama hidaupku aku tidak pernah memikirkan gadis lain selain dirimu”Bersaman kalimat itu Abim berlalu meninggalkanku. Entah…kenapa bibirku tak mampu mencegah langkah Abim. Semua kurasa bagai mimpi. Hanya dengan satu kesalahan kubuat semua berakhir dalam sekejap.Air matakupun sudah mengalir deras. Seharusnya aku bangga memiliki Abim yang tidak pernah neko-neko. Seharusnya aku tidak mendengarkan pendapat-pendapat Mita tentang cowok romantis. Seharusnya aku tidak membuat Abim terluka saat itu. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Kereta api di stasiun Gambir sudah berangkat dua menit setelah aku tiba di sana. Aku berlari kesana-kemari memanggil-manggil nama Abim dari jendela satu ke jendela lain. Namun usahaku itu tanpa hasil. Kereta api dengan perlahan telah membawa Abimku dan juga cintaku pergi jauh. Aku berdiri terpaku melihat kereta api yang kian menjauh. Sesalku menumpuk. Aku datang terlambat hingga tidak sempat mengatakan maafku pada Abim. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Kini aku mulai sadar bahwa tidak ada yang lebih bisa membahagiakanku kecuali dengan kehadiran Abim. Bagaimanapun dia, romantis ataupun tidak dialah orang yang benar-benar aku cintai. Kenangan-kengan indah bersamanya walau tanpa kemesraan saat itu membelaiku dengan rasa yang teramat. Asaku telah pergi dan itu cuma bisa kulakukan dengan menangis terpekur di tempatku berdiri. Hidupku tiada arti tanpa Abim, dengan mencintainya apa adanya itu sudah lebih dari cukup. Tidak ada lagi tuntutan untuk dia berubah menjadi Abim yang romantis. Rasa sesal telah membuatku menyimpan permintaan maaf untuk Abim. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Sampai dadaku tersentak merasakan tangan seseorang meraih bahuku. Aku menatap tajam wajah itu. Mata teduhnya yang selalu membuatku merasa damai jika didekatnya. Kelebutan jiwanya senantiasa menyuguhkan warna indah dalam memoriku dan sungguh tidak ada yang lebih romantis selain dia….</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03646279938462545085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3575003200595890662.post-35576078097942943772011-03-30T01:57:00.003-07:002011-03-30T01:57:31.278-07:00Kisahku<div style="text-align: justify;"><em>Aku duduk bersandar dan aku merasa lemah sekali…., dan tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk membuktikan sebuah angan yang menjadi beban dalam kebisingan otakku, aku tak tahu lagi bagaimana aku membuktikan apa yang kurasa pada dirimu, dirimu bagaikan batu yang harus kutembus dengan tetesan air sedikit demi sedikit,….. dan akankan diriku mampu menerimamu apa adanya…… ?</em></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Aku sadar siapakah diriku,… sungguh aku tak pantas untuk mendapatkan cinta dari seorang yahya, seorang putra dari seorang ahli ibadah dan tersohor di negeri ini, gagah rupawan dan tak terbesit pun kekurangan dari dirinya. Sedangkan diriku … hanyalah seorang pemuas hasrat lelaki yang mendambakan kehangatan sesaat. Bukan aku tidak memiliki rasa mencintai untuknya dan bukan pula sebuah batu yang hendak ia runtuhkan sekalipun, aku hanya berpikir bagaimana ia kelak menjawab seluruh pandangan orang disekitarnya akan keberadaanku, oh.. tuhan.. mengapa cinta ini Engkau anugerahkan diantara kami, apakah ini yang memang Engkau harapkan terhadap kami…?</div><div style="text-align: justify;"><span id="more-1098"></span>Izza namaku, hidupku berantakan sejak aku menjadi korban trafficking, saat itu aku masih 16 tahun. Disebuah terminal segerombolan laki – laki mendekati dan menyekapku, aku tak berdaya dibuatnya dibawalah aku dalam sebuah ruang yang kosong, sepi dan tampak berantakan. Aku dibuatnya layaknya boneka yang mereka lakukan dengan bergiliran dan mereka memperkosaku. Hancur rasanya kala itu aku bagaikan mati tak memiliki rasa apapun.</div><div style="text-align: justify;">Haripun berganti, aku dijual pada seorang wanita paruhbaya dan kemudian aku dipekerjakan sebagai seorang wanita penghibur disebuah klub malam. Tak terasa sudah 5 tahun aku bekerja dan kini usiaku sudah 21 tahun. Suatu awal kisah cinta ini terjadi, datanglah padaku sesosok pria tampan dengan wajah yang menampakkan kesedihan diraut wajahnya. ‘ mbak temani aku untuk sesaat ‘ itulah kata yang pertama keluar dari mulutnya, ‘ aku mencari seseorang yang bisa menjawab kegelisahanku, dimanakah aku menemukan belahan jiwaku yang membuatku tentram ? … aku kemari bukan untuk kesenangan, terkadang sebuah jawaban datangnya dari sesuatu yang tak pernah kita sangka..’ kemudian aku menoleh dan menatap wajahnya dengan tatapan tajam, dan aku bertanya ‘ apakah yang engkau pikirkan ..? ‘ dan ia menjawab ‘ ayahku yang sangat kuhormati mengharapkan seorang keturunan, dan aku tak mampu memenuhinya karena tak satupun wanita yang kukenal mampu meruntuhkan hatiku, dimanakah aku bisa mendapatkan cinta …?’, kemudian aku menjawab ‘ bersahabatlah kamu karena Allah dan mencintailah kamu karena Allah, bila kamu mencintai sesorang berdasar pada hasrat maka cinta itu adalah palsu’</div><div style="text-align: justify;">Aku terperangah mendapatkan jawaban diluar dugaanku,… siapakah dia ?… sehingga mampu memberikan jawaban yang sangat mendalam. Izza kau membuat aku bertambah payah, jawaban yang kau berikan membuatku semakin menggila dengan anganku sendiri. Dan sejak saat itu aku semakin sering mengunjunginya dan membuatku semakin akrab dengannya. Pemikiran yang luas jiwa yang lapang ternyata itulah yang kuharapkan dan itu terdapat dalam diri izza.</div><div style="text-align: justify;">Dan suatu ketika hujan yang lebat anginpun sangat kencang aku duduk bersandar dibawah sebuah pohon dengannya, saat itu pula aku menyatakan bahwa selama ini aku larut dalam jiwa izza, ‘ izza tak kusangka ternyata kau mampu membuatku hanyut, kini aku sadar bahwa beginilah rasa mencintai dan maukah kau menjadikan aku sebagai teman hidupmu…? tak terucap pun kata dari bibirnya, matanya memerah dan keluarlah air itu dari matanya yang manis. Tak lama ia berucap ‘ tak sadarkah apa yang kau ucapkan ?… ” lalu ia pergi entah kemana dan tak ingin aku mengikutinya.</div><div style="text-align: justify;">Dua minggu aku tak bertemu dengan izza pikiranku melayang menahan semua kerinduan yang membuat dada ini semakin sesak, ketika hari menjelang sore aku duduk disebuah taman depan rumahku. Dari kejauhan aku melihat seseorang mendekati rumahku, aku terperangah saat aku tahu siapa dia dengan lekas aku meloncat dari tempat dudukku dan menghampirinya ‘ izza apakah yang membuatmu datang kemari ?.. ‘ sesaat ia terdiam lalu berkata ‘ tak sadarkah kau apa yang kurasakan, aku tak mampu membohongi diriku aku tak mampu selalu berpaling darimu… aku mencintaimu…’ aku seolah tak percaya apa yang ia katakan tak sadar aku sudah memeluk dirinya erat dan tak terasa aku air mata pun jatuh….</div><div style="text-align: justify;">Dan kuperkenalkan ia dengan orang tua dan saudaraku akan kehadiranya dan hubungan ini, tak butuh waktu lama orang tuaku shock mendengar kejujuranku… seolah ia tak menerima kenyataan yang terjadi. Setelah segelas air ia habiskan lalu ayahku berkata ‘ tak satupun kejadian didunia ini yang luput dari kehendakNya , anakku jagalah, rawatlah bakal istrimu dengan baik… apapun yang terjadi… dan bersabarlah’.</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03646279938462545085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3575003200595890662.post-277264073390206042011-03-30T01:50:00.001-07:002011-03-30T01:56:19.921-07:00Cinta da Waktu<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGbcjp1wdJ3JziiO7EWQLvcOWK4jYBsAa-dYBQ5z2S-XM_gPSAIxujjVhyQU16zGRBceTJJc3JsHGO6RpDmc9Q2eihnxM_ZR3Xh-WlywHMjZmcB4r5ZxYzqnzqU_fIBGcRKJe8KMrOBAo/s1600/waktu-dan-cinta750.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGbcjp1wdJ3JziiO7EWQLvcOWK4jYBsAa-dYBQ5z2S-XM_gPSAIxujjVhyQU16zGRBceTJJc3JsHGO6RpDmc9Q2eihnxM_ZR3Xh-WlywHMjZmcB4r5ZxYzqnzqU_fIBGcRKJe8KMrOBAo/s1600/waktu-dan-cinta750.jpg" /></a></div>Di suatu pulau kecil ada seorang gadis bernama CINTA dan teman-temannya namanya kecantikan, kesedihan, kegembiraan, kekayaan, mereka hidup berdampingan dengan baik namun suatu ketika datang<br />
badai menghepas pulau kecil itu dan air laut tiba-tiba naik dan akan menggelamkan pulau itu<br />
semua penghuni pulau cepat2 berusaha menyelamatkan diri,CINTA sangat kebingungan sebab ia tak dapat berenang dan tdk mempunyai prahu dia berdiri di tepi pantai mencoba mencari pertolongan smentara itu air smakin naik membasahi kakinya tak lama CINTA melihat Kekayaan sdang mengayuh perahu'kekayaan!kekayaan! tolong aku!,' teriak CINTA' Aduh! maaf, CINTA' kata kekayaan" aku tak dapat membawamu serta perahuku ini tenggelam lagipula tak ada tempat lagi bagimu.CINTA sedih sekali namun kemudian dilihatnya Kegembiraan lewat dgn perahunya " kegembiraan! tolong aku ! " teriak CINTA namun kegembiraan terlalu gembira karna ia menemukan perahu sehingga ia tak dpt mendengar teriakan CINTA, air semakin tinggi dan CINTA smakin panik.<br />
<br />
Tak Lama lewatlah kecantikan " Kecantikan! bawalah aku bersamamu!, " teriak CINTA lg " Wah, CINTA kamu basah dan kotor, aku tak bisa membawamu nanti bisa mengotori perahuku yang indah ini " sahut kecantikan.CINTA sdih skali mendengarnya ia mlai menangis terisak-isak Saat itulah lewat kesedihan " Oh Kesedihan, bawalah aku bersamamu!, " kata cinta " Maaf CINTA aku sedang sedih dan aku ingin sendirian saja, " kata kesedihan sambil terus mengayuh perahunya.CINTA putus asa.<br />
<br />
Ia merasakan air makin naik dan akan menenggelamkannya.Pada saat kritis itulah tiba2 terdengar suara "CINTA! Mari cepat naik ke perahuku!" CINTA menoleh ke arah suara itu dan cepat2 naik keperahu itu,tepat sebelum air menenggelamkannya di pulau terdekat, CINTA turun dan perahu itu langsung pergi lgi.Pada saat itu barulah CINTA sadar ia sama sekali tdk mengetahui siapa yang menolongnya, CINTA segera bertanya kpd penduduk pulau itu " Yang tadi adalah WAKTU ," kata penduduk itu "Tapi, mengapa ia menyelamatkan aku ? Aku tdk mengenalinya Bahkan teman2ku yg mengenalku pun enggan menolong" Tanya CINTA heran " Sebab HANYA WAKTULAH YANG TAHU BERAPA NILAI SESUNGGUHNYA DARI CINTA ITU"<br />
..<br />
<div style="background-color: transparent; border: medium none; color: black; overflow: hidden; text-align: left; text-decoration: none;"><br />
</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03646279938462545085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3575003200595890662.post-25404439660630023702011-03-28T23:01:00.000-07:002011-03-28T23:38:39.806-07:00Kisah cinta yang sempurnaSubhanallah… dapat kiriman di email, sangat mengharukan, mengagumkan, kisah cinta sepasang suami istri…<br />
ALLAHU AKBAR!!!<br />
Untuk Sahabat2ku, ini sebuah kisah menyentuh hati dalam foto yang nyata.<br />
Tuhan itu Maha adil dan Maha penyayang, Kisah sepasang suami istri yang sangat sederhana, melihat rata-rata sosok lakinya itu bisa dinilai seorang pria yang cukup sempurna terutama dalam penampilannya, tapi dia mempunyai seorang istri yang mempunyai kelainan dalamfisiknya, dimana wanita tersebut tidak mempunyai kaki sama sekali total dari ujung kaki hingga ujung paha bahkan wanita itu tidak memiliki sama sekali pinggul(bagian dari pangkal paha hingga batas pinggang), jadi sulit sekali bila duduk karena tidak memiliki alas di bawah pinggang tersebut.<br />
<blockquote><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://mediasholeha.files.wordpress.com/2010/09/39894_420490886267_301729376267_5390113_317717_n.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="" class="aligncenter size-full wp-image-911" height="265" src="http://mediasholeha.files.wordpress.com/2010/09/39894_420490886267_301729376267_5390113_317717_n.jpg?w=550&h=366" title="39894_420490886267_301729376267_5390113_317717_n" width="400" /></a><a href="http://mediasholeha.files.wordpress.com/2010/09/38658_420491251267_301729376267_5390135_134106_n.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="" class="aligncenter size-full wp-image-912" height="265" src="http://mediasholeha.files.wordpress.com/2010/09/38658_420491251267_301729376267_5390135_134106_n.jpg?w=550&h=366" title="38658_420491251267_301729376267_5390135_134106_n" width="400" /></a></div><address><span style="font-size: small;"><span style="font-size: xx-small;"></span></span></address><address></address><address>Tapi kebesaran Tuhan tentu lain, wanita tersebit memiliki suami yang cukup ganteng, masih muda dan sangat cukup sempurna mau memiliki dan mengasihi seorang wanita yang mempunyai cacaat fisik bawaan. Mereka sekarang dikaruniai dua orang anak yang sangat sempurna dan lucu sekali.</address><address>Silahkan sahabat menyimak satu persatu foto keluarga tersebut, tentu melihatnya dengan hati yang sangat haru….<br />
</address></blockquote><blockquote style="text-align: center;"><address><span style="font-size: xx-small;"></span></address><address><a href="http://mediasholeha.files.wordpress.com/2010/09/40017_420491316267_301729376267_5390137_4645567_n.jpg"><img alt="" class="aligncenter size-full wp-image-913" height="305" src="http://mediasholeha.files.wordpress.com/2010/09/40017_420491316267_301729376267_5390137_4645567_n.jpg?w=150&h=115" title="40017_420491316267_301729376267_5390137_4645567_n" width="400" /></a></address><address><a href="http://mediasholeha.files.wordpress.com/2010/09/38655_420491381267_301729376267_5390141_5949737_n.jpg"><img alt="" class="aligncenter size-full wp-image-914" height="265" src="http://mediasholeha.files.wordpress.com/2010/09/38655_420491381267_301729376267_5390141_5949737_n.jpg?w=550&h=366" title="38655_420491381267_301729376267_5390141_5949737_n" width="400" /></a></address></blockquote>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03646279938462545085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3575003200595890662.post-49284940760917219762011-03-28T22:47:00.001-07:002011-03-28T22:47:01.667-07:00Calon Buat AjengCalon Suami???!<br />
<br />
Pfui, kuhembuskan nafasku kuat-kuat. Bosan aku. Lagi-lagi calon suami yang dibicarakan. Bayangin, sudah dua bulan ini tidak ada topik yang lebih trend di rumah, selain soal suami.<br />
<br />
Mulai dari Papi yang selalu nyindir, sudah pengen menimang cucu. Mami yang berulang-ulang menasihatiku agar jangan terlalu pilih-pilih tebu. Lalu Bambang, adikku, yang kuharap bisa menetralisir suasana, tak urung ikut menggoda. Bahkan si kembar Rani-Rano, yang masih es em pe pun, ikut-ikutan menceramahiku.<br />
<br />
”Mbak Ajeng kan udah jadi insinyur, udah waktunya dong, mikirin berkeluarga. Lagian, Rani sama Rano kan udah pengen dipanggil ’Tante dan Oom’. Tika aja yang baru kelas enam, keponakannya udah empat!”<br />
<br />
”Iya, Mbak. Jaman sekarang, perempuan itu harus agresif. Mbak Ajeng sih, kerjanya belajar ama ngaji melulu!” Rano menimpali kata-kata kembarnya.<br />
<br />
Aku hanya bisa melotot, nemu di mana lagi pendapat kayak gitu.<br />
<br />
”Udah sana kalian belajar!” hardikku agak keras.<br />
<br />
”Tuh, kaaaan?!?” seru mereka berdua kompak.<br />
<br />
Huhh, dasar kembar!<br />
<br />
***<br />
<br />
”Ajeng…!”<br />
<br />
Kudengar panggilan Mami dari depan. Pelan aku bangkit dari meja belajar. Setelah merapikan jilbab, aku keluar.<br />
<br />
”Ada apa, Mi?” tanyaku lunak. Sekilas sempat kulihat sosok seorang lelaki, duduk di sudut ruangan.<br />
<br />
Kedua bola mata Mami tampak bersinar-sinar. Oo…Oo…! Pasti ada yang nggak beres, gumamku dalam hati. Iiih..su’udzon! Tapi….<br />
<br />
Benar saja.<br />
<br />
“Ajeng, kenalin. Ini tangan kanan Papi di kantor. Hebat, ya! Masih muda sudah jadi Wakil Presiden Direktur. Ayo, kenalin dulu. Ini Nak Bui….”<br />
<br />
”Boy, Tante!”<br />
<br />
”Eh, iya. Boi!”<br />
<br />
Aku hanya bisa menahan geli. Mami…Mami…!<br />
<br />
Rasa geliku mendadak hilang, ketika selama dua jam berikutnya aku harus mendengarkan obrolan Mami dengan Si Boi tadi.<br />
<br />
Bukan main, lagaknya! Batinku menggerutu sendiri, mendengar cerita-ceritanya yang melulu berbau luar negeri.<br />
<br />
”Jadi, Tante, selama belajar di Harvard, saya sudah coba-coba berbisnis sendiri. Hasilnya lumayan. Saya bisa jalan-jalan keliling Amerika, bahkan Eropa setiap kali holiday!”<br />
<br />
Hihhh, gemas aku! Terlebih melihat pancaran kagum di wajah Mami. Benar-benar nggak peka nih anak. Kok bisa sih nggak merasa dicuekin? Tetap aja ngomong. Tak perduli aku yang cuma diam dan sesekali manggut. Kupanjatkan syukur yang tak terkira ketika akhirnya Si Boi pulang. Alhamdulillah!<br />
<br />
***<br />
<br />
Kulihat Bambang tertawa. Kesal, kulemparkan bantal ke arahnya. Orang cerita panjang lebar minta advise, kok cuma diketawain?!?<br />
<br />
”Bang, serius, dong! Pokoknya kalau nanti Mami nanyain kamu soal Boy, awass kalau kamu setuju!” ancamku serius. Bambang masih cengar-cengir.<br />
<br />
”Mbak Ajeng gimana, sih? Biasanya Mbak yang nyuruh aku sabar menghadapi segala sesuatu. Lho, kok sekarang malah panasan gini? Tenang aja, Mbak, sabar! Innallaha ma’ashshabirin!” balasnya sambil mengutip salah satu ayat di Al-Quran.<br />
<br />
Iya, ya. Kenapa aku jadi nggak sabaran gini. Baru juga ngadepin si Boy. Astaghfirullah!<br />
<br />
”Mbak bingung, Bang! Habis serumah pada mojokin semua. Kamu ngerti, kan, milih suami itu nggak mudah. Nyari yang shalih sekarang susah. Mbak nggak pengen gambling. Salah-salah pilih, resikonya besar. Nggak main-main, dunia akhirat!”<br />
<br />
Sekejap, kulihat keseriusan di matanya. Cuma sekejap, sebelum ia kembali menggodaku.<br />
<br />
”Apa perlu Bambang yang nyariin???!”<br />
<br />
Lemparan bantalku kembali melayang.<br />
<br />
***<br />
<br />
Kriiiiing…!!!<br />
<br />
Ups, kumatikan bunyi weker yang membangunkanku. Jam tiga lebih seperempat. Aku bangun dari tempat tidur, bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu. Kuperhatikan lampu kamar Bambang masih menyala. Sayup-sayup suara kaset murattal terdengar.<br />
<br />
Tercapai juga niatnya untuk begadang malam ini, pikirku. Heran, kebiasaan menghadapi ujian dengan pola SKS (Sistem Kebut Semalam) masih membudaya rupanya.<br />
<br />
Cepat kuhapuskan pikiran tentang Bambang dan ujiannya. Mataku nanar menyaksikan pantulan wajahku di cermin. Kuhapus tetesan air wudhu yang tersisa dengan handuk kecil. Oooohh, begini rupanya gadis di penghujung usia dua puluh sembilan? Kuperhatikan bentuk wajahku yang makin tirus. Baru kusadari, betapa pucatnya wajah itu. Entah kemana perginya rona merah yang biasa hadir di sana. Mungkin hilang termakan usia. Ya Rabbi, pantas saja Papi dan Mami begitu khawatir. Sudah sulung mereka tak cantik, menjelang tua, lagi!<br />
<br />
”Ir. Ajeng Prihartini.” Kueja namaku sendiri.<br />
<br />
”Jangan cemas ya ukhti, ini bukan nasib buruk!” Bisikku menghibur. Bagaimana pun aku harus tetap tawakkal pada Allah. Jodoh, rizki, dan maut, Dia yang menentukan. Berjodoh di dunia bukanlah satu kepastian yang akan kita raih dalam hidup. Tidak, ada hal lain yang lebih penting, lebih pasti. Ada kematian, maut yang pasti kita hadapi. Sesuatu yang selama ini sering kuucapkan kepada saudaraku muslimah yang lain, ketika mereka ramai meresahkan calon suami yang tak kunjung datang.<br />
<br />
”Sebetulnya kita ini lucu, ya? Lebih sering mempermasalahkan pernikahan, hal yang belum tentu terjadi. Maksud Ajeng, bergulirnya waktu dan usia, nggak seharusnya membuat kita lupa untuk berpikir positif terhadap Allah. Boleh jadi calon kita ini nggak buat di dunia, tapi disediakan di surga. Mungkin Allah ingin memberikan yang lebih baik, who knows?” ujarku optimis, dua tahun yang lalu.<br />
<br />
Astaghfirullah! Ishbiri ya ukhti, isbiri….<br />
<br />
Tanganku masih menengadah, berdoa, saat kudengar azan Subuh berkumandang. Hari baru kembali hadir. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, untuk satu hari lagi kesempatan beramal dan taubat, yang masih Kau berikan.<br />
<br />
***<br />
<br />
Selesai berurusan dengan Mami untuk masalah Boy, gantian aku harus menghadapi Tante Ida yang siap mempromosikan calonnya. Duhh! Lagi-lagi aku cuma bisa manggut-manggut.<br />
<br />
”Tante sih terserah Ajeng. Pokoknya lihat aja dulu. Syukur-syukur Ajeng suka. Dia anak lurah. Bapaknya termasuk juragan kerbau yang paling kaya di Jawa. Tapi nggak kampungan, kok. Anak kuliahan juga seperti kamu!” promosi Tante Ida bersemangat.<br />
<br />
Dua hari kemudian, Tanteku itu kembali datang dengan ’balon’nya.<br />
<br />
”Junaedi. Panggil aja Juned!”<br />
<br />
Aku hanya mengangguk. Tak membalas uluran tangan yang diajukannya.<br />
<br />
Selama pembicaraan berikutnya, berkali-kali aku harus menahan diri, untuk tidak lari ke dalam. Aku tidak ingin menyinggung perasaan Tante Ida. Apalagi beliau bermaksud baik. Hanya saja, asap rokok Juned benar-benar membuatku mual. Malah nggak berhenti-henti. Habis sebatang, sambung sebatang. Persis lokomotif uap jaman dulu!<br />
<br />
Dengan berani pula ia mengomentari penampilanku.<br />
<br />
”Eng…jangan tersinggung ya, Jeng. Aku suka bingung sendiri ngeliat perempuan yang memakai kerudung. Kenapa sih tidak pintar-pintar memilih warna dan mode?! Aku kalau punya isteri, pasti tak suruh beli baju yang warna-warnanya cerah, menyala. Sekaligus yang bervariasi. Seperti yang dipakai artis-artis kita yang beragama Islam itu lho, sekarang. Ndak apa-apa toh sedikit kelihatan leher atau betis?! Maksudku biar tidak terlihat seperti karung berjalan gitu lho, Jeng! Hahaha….”<br />
<br />
Kontan raut mukaku berubah. Tanpa menunggu rokok keenamnya habis, aku mohon diri ke dalam. Tak lama kudengar suara Juned pamitan. Alhamdulillah.<br />
<br />
Ketika Tante Ida menanyakan pendapatku, hati-hati aku menjawab.<br />
<br />
”Maaf ya, Tan…, rasanya Ajeng nggak sreg. Terutama asap rokoknya itu, lho. Soalnya Ajeng punya alergi sama asap rokok. Mana kelihatannya Juned perokok berat, lagi. Maaf ya, Tan…, udah ngerepotin.”<br />
<br />
Bayang kekecewaan tampak menghiasi raut muka Tante Ida.<br />
<br />
”Bener, nih…nggak nyesel? Tante cuma berusaha bantu. Ajeng juga mesti memikirkan perasaan Mami sama Papi. Susah lho, nyari yang seperti Juned. Udah ganteng, dokterandes lagi! Terlebih kamu juga sudah cukup berumur.”<br />
<br />
Bujukan Tante Ida tak mampu menggoyahkanku. Dengan masih kecewa, beliau beranjak keluar. Sempat kudengar Tante Ida berbicara dengan Papi dan Mami. Sempat pula kudengar komentar-komentar mereka yang bernada kecewa, sedih. Ya Allah, kuatkan hamba-Mu!<br />
<br />
Hari berangsur malam. Aku masih di kamar, mematung. Beragam perasaan bermain di hatiku. Sementara itu, hujan turun rintik-rintik.<br />
<br />
***<br />
<br />
Siang begitu terik. Langkahku lesu menghampiri rumah. Capek rasanya jalan setengah harian, dari satu perpustakaan ke perpustakaan IPB lainnya. Namun buku yang kucari belum juga ketemu. Padahal buku itu sangat kuperlukan untuk menghadapi ujian pasca sarjanaku sebentar lagi. Sia-sia harapanku untuk bisa beristirahat pulang ke Depok. Kereta yang kutumpangi benar-benar penuh. Sudah untung bisa berdiri tegak, dan tidak doyong ke sana ke mari, terdesak penumpang yang lain.<br />
<br />
”Assalamu’alaikum!” perasaanku kembali tidak enak, melihat Mami yang tidak sendirian. Seorang lelaki berjeans, dengan sajadah di pundak, dan kopiah di kepala, tampak menemani beliau. Jangan…jangan….<br />
<br />
”Wa’alaikumussalam. Nah, ini Ajengnya sudah pulang. Ajeng, sini sayang. Kenalkan, Saleh. Putera Pak Camat yang baru lulus dari pondok pesantren di Kalimantan. Kalian pasti bisa bekerja sama mengelola kegiatan masjid di sini. Lho, Ajeng…, kok malah diam? Maaf Nak Saleh, Ajeng memang pemalu orangnya.”<br />
<br />
Duhh, Mami!<br />
<br />
Kali ini Mami membiarkanku berdua dengan tamunya itu. Risih, kuminta Rani mendampingiku. Dia setuju setelah aku janji akan menemaninya mendengar ceramah di Wali Songo, pekan depan.<br />
<br />
Selama Saleh berbicara, aku menunduk terus. Bisa kurasakan pandangannya yang jelalatan ke arahku. Dengan gaya bahasa yang tinggi, Saleh bercerita tentang berbagai kitab berbahasa Arab yang telah dia kuasai. Bukan main. Lalu ia mulai membahas satu persatu perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Soal doa qunut, perbedaan doa iftitah, masalah posisi telunjuk ketika tahiyat, dan lain-lain yang senada.<br />
<br />
Terus terang, aku tidak begitu setuju dengan caranya. Betul bahwa semuanya harus kita ketahui. Tapi bagiku, dengan makin meributkannya, hanya akan memperuncing perbedaan yang ada. Cukuplah bahwa masing-masing berpegang pada sunnah Rasulullah. Tentunya akan lebih baik, jika kita justru berusaha mencari titik temu atau persamaan, dan bukan malah memperlebar jurang perbedaan.<br />
<br />
”Kalau menurut Saleh, kasus Bosnia itu bagaimana?” tanyaku mengalihkan perhatian.<br />
<br />
”Oooh, itu. Ane sangat tidak setuju. Menurut pendapat dan analisa ane, tidak seharusnya masalah Bosnia itu digembar-gemborkan. Itu akan membuat sikap tersebut kian membudaya. Sudah saatnya pola sikap ngebos, dan penghargaan masyarakat terhadap orang-orang yang punya kedudukan, diarahkan sewajarnya. Agar tidak berlebihan.” ulasnya panjang lebar.<br />
<br />
Gantian aku yang bingung.<br />
<br />
”Saya…saya tidak paham apa yang Saleh maksudkan.” ujarku sedikit gagap.<br />
<br />
”Kenapa? Apa karena bahasa yang ane gunakan terlalu tinggi atau bagaimana, hingga Ajeng sulit memahami?”<br />
<br />
Aku tambah melongo.<br />
<br />
”Bukan itu, ini…, Bosnia yang mana, yang Saleh maksudkan?” tanyaku makin bingung.<br />
<br />
”Lha, yang nanya kok malah bingung?! Yang ane bicarakan tadi ya tentang Bosnia, Boss-Mania, kan maksud Ajeng?!!”<br />
<br />
Ufh, kutahan tawa yang nyaris meledak. Bingung aku, ternyata masih saja ada orang yang meributkan hal-hal yang relatif lebih kecil, dan melupakan masalah lain yang lebih besar. Dari sudut mataku, kulihat Rani pringas-pringis menahan geli, sambil mempermainkan kerudung pink-nya. Lucu sekali.<br />
<br />
”Bukan, yang Ajeng maksudkan adalah penindasan yang terjadi pada saudara-saudara muslim kita di Negara Bosnia.” aku berusaha menjelaskan dengan sabar.<br />
<br />
Tampak Saleh manggut-manggut.<br />
<br />
”Ooooh, yang itu. Ya…jelas penindasan itu tidak bisa dibenarkan. Tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan keadilan,” ujar Saleh optimis, lalu….<br />
<br />
”Ngomong-ngomong, Bosnia itu di mana, sih?”<br />
<br />
Tawa Rani meledak.<br />
<br />
Duhhh, Mami!!!<br />
<br />
***<br />
<br />
Malamnya, waktu aku protes ke Mami, soal calon-calon itu, tanpa diduga, malah Mami yang marah.<br />
<br />
”Lho, kamu itu gimana toh? Kata Bambang kamu maunya sama Saleh. Pas Mami temuin, kamu bilang bukan yang seperti itu yang kamu inginkan. Jadi sebenarnya, Saleh yang mana calon kamu itu?” suara Mami meninggi.<br />
<br />
Aku terhenyak. Bambang yang duduk di kursi makan tersenyum simpul. Awas, kamu de’! Bisikku gemas.<br />
<br />
”Bukan yang namanya Saleh, Mi. Ajeng ingin orang yang saleh, yang taat beribadah. Orang yang punya pemahaman paling tidak mendekati menyeluruhlah, tentang Islam. Yang Islamnya nggak cuma teori, tapi ada bukti. Yang nggak jelalatan memandang Ajeng terus-terusan dari ujung jilbab sampai kaos kaki, seperti hendak menawar barang dagangan. Ajeng tahu, usia Ajeng sudah jauh dari cukup. Ajeng juga pengen segera menikah. Perempuan mana sih, yang tidak ingin berkeluarga, dan punya anak?” lanjutku hampir menangis.<br />
<br />
”Tapi…, tolong. Jangan menyudutkan Ajeng. Tolong Mami bantu Ajeng agar bisa tetap sabar, tetap tawakkal sama Allah. Kita memang harus berusaha, tapi jangan memaksakan diri. Biar Ajeng mesti nunggu sampai tua, Ajeng siap. Daripada bersuamikan orang yang akhlaknya tidak Islami. Tolong Ajeng, Mi…tolong!” Kusaksikan mata Mami berkaca-kaca. Diraihnya aku ke dalam pelukannya. Berdua kami berisakan. Papi turut menghampiri, menepuk-nepuk pundakku. Rani dan Reno terdiam di kursinya.<br />
<br />
”Maafin Mami, sayang….” suara Mami lirih, memelukku makin erat.<br />
<br />
***<br />
<br />
Kesibukanku menulis diary terhenti.<br />
<br />
”Mbak Ajeng…telepon tuh!” pekik Rano keras.<br />
<br />
”Dari siapa? Kalau dari Anto Boy, Didin, Juned, atau Saleh, Mbak nggak mau terima!” balasku agak keras.<br />
<br />
Hening, tidak ada panggilan lanjutan dari Rano. Aku lega.<br />
<br />
Alhamdulillah, sejak kejadian malam itu, perlahan topik trend kami bergeser. Mami tidak lagi menyodorkan calon-calonnya, sebelum menanyakan kesediaanku. Beberapa Oom dan Tante yang datang, harus pulang dengan kecewa karena promosi dibatalkan. Aku masing ingin menenangkan diri dulu.<br />
<br />
Kuraih pena. Dengan hati seringan kapas, aku mulai menulis:<br />
<br />
Kepada Calon Suamiku….<br />
<br />
Usiaku hari ini bertambah setahun lagi.<br />
<br />
Tiga puluh tahun sudah. Alhamdulillah. Kuharap, tahun-tahun yang berlalu, meski memudarkan keremajaanku, namun tidak akan pernah memudarkan ghirah Islamiah yang ada. Mudah-mudahan aku bisa tetap istiqamah di jalan-Nya.<br />
<br />
Ujian pasca sarjanaku sudah selesai. Sebentar lagi, satu embel-embel gelar kembali menghiasi namaku. Belum lama ini aku juga mengambil kursus jahit dan memasak. Dengan besar hati pula, Mami mesti mengakui, bahwa kemahirannya di dapur, kini sudah tersaingi.<br />
<br />
Alhamdulillah, sekarang aku lebih bisa berkonsentrasi untuk menulis, dan memberikan berbagai ceramah di beberapa kampus dan masjid. Baru sedikit itulah, yang bisa kulakukan sebagai perwujudan syukurku atas nikmat-Nya yang tak terhitung.<br />
<br />
Calon suamiku….<br />
<br />
Aku maklum, bila sampai detik ini kau belum juga hadir. Permasalahan yang menimpa kaum muslimin begitu banyak. Kesemuanya membentuk satu daftar panjang dalam agenda kita. Aku yakin ketidakhadiranmu semata-mata karena kesibukan dakwah yang ada. Satu kerja mulia, yang hanya sedikit orang terpanggil untuk ikut merasa bertanggung jawab. Insya Allah, hal itu akan membuat penantian ini seakan tidak pernah ada.<br />
<br />
Calon suamiku….<br />
<br />
Namun jika engkau memang disediakan untukku di dunia ini, bila kau sudah siap untuk menambah satu amanah lagi dalam kehidupan ini, yang akan menjadi nilai plus di hadapan Allah (semoga), maka datanglah. Tak usah kau cemaskan soal kuliah yang belum selesai, atau pekerjaan yang masih sambilan. Insya Allah, iman akan menjawab segalanya. Percayakan semuanya pada Allah. Jika Dia senantiasa memberikan rizki, padahal kita tidak dalam keadaan jihad di jalan-Nya, lalu bagaimana mungkin Allah akan menelantarkan kita, sedangkan kita senantiasa berjihad di sabil-Nya?!<br />
<br />
Banyaklah berdoa, Calon Suamiku, di manapun engkau berada. Insya Allah, doaku selalu menyertai usahamu.<br />
<br />
Wassalam,<br />
<br />
Adinda<br />
<br />
NB: Ngomong-ngomong, nama kamu siapa, sih?<br />
<br />
”Syahril… Nama saya Syahril.”<br />
<br />
Deg! Aku tersentak. Pena yang kugenggam jatuh. Rasa-rasanya kudengar satu suara. Sedikit berjingkat, aku melangkah ke depan. Sebelum aku sempat menyibak tirai yang membatasi ruang makan dengan ruang tamu, kudengar suara Papi memanggilku.<br />
<br />
”Ajeng…!”<br />
<br />
Hampir aku terjatuh, saking tergesanya menghampiri beliau. Sekilas mataku menyapu bayangan seorang lelaki berkaca mata, yang berdiri tak jauh dari Papi, dengan wajah tertunduk, rapat ke dada. Di belakangnya, Bambang berdiri dengan senyum khasnya.<br />
<br />
”Nah, Nak Syahril, kenalkan, ini yang namanya Ajeng. Puteri sulung Oom. Lho, kok malah nunduk?” suara ngebas Papi kembali terdengar.<br />
<br />
Aku menoleh sesaat, yang dipanggil Syahril tetap menunduk.<br />
<br />
”Ayo, salaman. Ini lho, Jeng…puteranya Mas Wismoyo, sahabat Papi sejak jaman revolusi dulu, sekaligus Ass Dos-nya Bambang di FISIP. Baru lulus ya Nak?”<br />
<br />
Syahril mengangguk. Tapi, tetap tak ada uluran tangan.<br />
<br />
”Assalamu’alaikum, Ajeng. Saya Syahril.”<br />
<br />
Masya Allah! Aku masih melongo, terpana.<br />
<br />
“Insya Allah, hari ini saya akan berta’aruf dengan Ajeng. Kalau Ajeng setuju, khitbahnya bisa dilaksanakan besok. Sesudah itu…mudah-mudahan kita bisa jihad bareng….”<br />
<br />
Agak samar kudengar kalimatnya yang terakhir. Kulihat Papi tersenyum lebar, melirikku.<br />
<br />
”Apa, Jeng…khitbah? Ngelamar, ya…??”<br />
<br />
Aku mengangguk pendek, tersipu. Tawa Papi makin lebar.<br />
<br />
Aku masih terpana.<br />
<br />
Masya Allah, calon suamiku…eng…engng…ups, apakah…apakah…ini, kamu???Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03646279938462545085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3575003200595890662.post-29510211126421708112011-03-28T22:45:00.001-07:002011-03-28T22:45:37.825-07:00Cinta Sepotong MimpiDapatkah seseorang mencinta hanya karena sepotong mimpi? Mustahil. Namun, adikku semata wayang mengalaminya – setidaknya itu yang diakuinya.<br />
<br />
Gadis yang dicintainya adalah Lala, adik sepupunya sendiri. Wajar, bukan? Bahkan, menjadi halal saat kedua orang tuaku kemudian berpikir untuk meminangnya.<br />
<br />
Semua berawal dari penuturan Jamal. Ia bilang, ia memimpikan Lala sebagai gadis yang diperkenalkan Ibu kepadanya sebagai calon istrinya.<br />
<br />
“Kami sudah saling mengenal, Bu,” kata Jamal dalam mimpi itu dengan malu-malu. Gadis itu pun mengangguk dengan senyum malu-malu pula.<br />
<br />
Sebenarnya Jamal tidak terlalu meyakini gadis itu adalah Lala. Wajahnya samar terlihat. Namun, Jamal merasakan aura gadis itu cukuplah ia kenal. Hebatnya, ini diperkuat oleh ayah kami. Di malam yang sama, beliau bermimpi tentang Jamal yang duduk di kursi pelaminan bersama Lala! Apakah ini pertanda? Entah. Hanya saja, sejak itu aku merasakan pandangan Jamal terhadap Lala berubah.<br />
<br />
Mereka sebenarnya teman bermain di waktu kecil, namun tak pernah bertemu lagi sejak remaja. Keluarga Lala tinggal jauh di Surabaya, sementara kami di Jakarta. Kami jarang berkumpul, bahkan saat lebaran, sehingga kenangan yang dimiliki Jamal tentang Lala adalah kenangan di masa kecil dulu sebagai abang yang kasih kepada adiknya. Kasih dimana sama sekali tak terpikirkan untuk memandang Lala sebagai gadis yang pantas dicintai, bahkan halal dinikahi. Namun, mimpi itu mampu menyulap semuanya menjadi…cinta (?).<br />
<br />
Mari katakan aku terlalu cepat menyimpulkan sebagai cinta. Barangkali saja itu hanya pelangi yang tak kunjung sirna mengusik relung hati adikku. Pelangi yang mampu merubahnya menjadi sok melankolis hingga membuat kami sekeluarga khawatir melihat ia kerap termenung menatap kejauhan, untuk kemudian mendesah perlahan.<br />
<br />
“Mungkin kau harus menemuinya di Surabaya,” kata Ibu.<br />
<br />
”Rasanya tak usah, Bu. Masak hanya karena bunga tidur aku menemuinya,” jawab Jamal.<br />
<br />
”Barangkali saja itu pertanda.”<br />
<br />
”Bahwa Lala jodoh saya?”<br />
<br />
”Bukan. Bahwa sudah lama kau tak mengunjungi mereka untuk bersilaturahmi. Biar nanti Mbakmu dan suaminya yang menemanimu kesana.”<br />
<br />
Jamal tertegun sejenak untuk kemudian mengangguk.<br />
<br />
Wah, pintar sekali Ibu membujuk. Padahal tanpa sepengetahuan adikku yang pendiam itu, Ibu menyerahi kami tugas untuk ”meminang” Lala. Ibu betul-betul yakin mimpi itu sebagai pertanda sehingga memintaku menanyakan kepada Lala tentang kemungkinan kesediaannya dipersunting Jamal.<br />
<br />
”Kenapa tidak minta langsung saja pada Paklik? Biar mereka dijodohkan saja,” kataku waktu itu.<br />
<br />
”Ah, adikmu itu takkan mau.”<br />
<br />
”Tapi…”<br />
<br />
”Sudahlah. Ibu tahu Jamal belum terlalu dewasa. Kuliah saja belum selesai. Tapi setidaknya ia memiliki penghasilan dari usaha sambilannya berdagang, ‘kan?”<br />
<br />
“Bukan itu maksudku. Apa Ibu yakin Jamal mau dengan Lala? Barangkali saja mimpinya hanya romantisme sesaat.”<br />
<br />
Ibu tercenung. Aku yakin Ibu belum memastikan ini. Yang beliau tahu hanya Jamal yang bertingkah aneh. Itu saja. Selebihnya ia perkirakan sendiri. Sepertinya justru Ibulah yang ngebet ingin meminang Lala.<br />
<br />
”Kupercayakan semua itu padamu.”<br />
<br />
Walah! Berarti tugasku berlipat-lipat! Selain memastikan kesediaan Lala, aku pun harus memastikan perasaan adikku sendiri.<br />
<br />
***<br />
<br />
Ia diam. Sudah kuduga reaksinya begitu jika kutanyakan tentang kemungkinan perjodohannya dengan Lala.<br />
<br />
“Kamu mencintainya?” Aku mengganti pertanyaan. Kali ini Jamal malah terkekeh.<br />
<br />
”Mungkin… Entahlah. Rasanya tak wajar.”<br />
<br />
Tentu saja tak wajar! Bagiku, mencinta karena sepotong mimpi hanya omong kosong. Lagi pula Jamal tak tahu seperti apa wajah dan kepribadian Lala dewasa ini. Aku pun tak tahu.<br />
<br />
“Santai saja, Mal. Tak usah dipikirkan. Yang penting kita tiba dulu di sana,” kata Bang Rohim, suamiku.<br />
<br />
***<br />
<br />
Setiba di Surabaya, kami disambut keluarga Lala hangat.<br />
<br />
”Wah, iki Jamal tho? Oala, wis gedhe yo?!” ucap Bulik.<br />
<br />
Jamal hanya tersenyum. Apalagi saat pipi gendutnya dijawil Bulik seperti saat ia kanak-kanak dulu.<br />
<br />
”Mana Lala, Bulik?” tanyaku saat tak mendapati anak semata wayangnya itu.<br />
<br />
”Ada di dapur. Sedang bikin wedhang.”<br />
<br />
Aku segera ke dapur. Aku sungguh penasaran seperti apa Lala sekarang. Kulihat seorang gadis di sana. Subhanalah, cantiknya! Ia mencium tanganku. Hmm, santun pula. Cukup pantas untuk Jamal. Tapi, aku harus menahan diri. Kata Bang Rohim, butuh pendekatan persuasif untuk menjalankan misi ini. Aku tak yakin aku bisa sehingga menyerahkan sepenuhnya skenario kepadanya.<br />
<br />
Tak banyak yang dilakukan Bang Rohim selain meminta Lala menjadi guide setiap kami bertiga pergi ke pusat kota. Ia melarangku membicarakan soal perjodohan, pernikahan, pinangan atau apapun istilahnya kepada Lala. Katanya, kendati kami keluarga dekat, sudah lama kami tidak saling bersua. Bisa saja Lala memandang kami sebagai ”orang asing”. Upaya melancong bersama ini demi untuk mengakrabkan kembali Jamal, Lala dan aku. Kiranya ini dapat memudahkanku saat mengutarakan maksud kedatangan kami sesungguhnya nanti.<br />
<br />
Malam ini saat dimana aku diperbolehkan suamiku mengungkapkan semuanya kepada Lala. Seharusnya memang begitu. Tapi Jamal mendahuluiku. Tak kusangka ia serius dengan perasaannya. Ia utarakan semuanya. Tentang mimpinya, tentang jatuh cinta, bahkan tentang pinangan.<br />
<br />
“Mungkin Dik Lala menganggap ini konyol. Abang juga merasa begitu. Tapi, setidaknya sekarang Abang yakin dengan perasaan Abang. Jadi, mau tidak kalau Lala Abang lamar?”<br />
<br />
Bukan manusia kalau Lala tidak kaget ditembak seperti itu. Ia tampak galau. Seperti aku dulu. Sayang Lala tak merespon seperti aku merespon pinangan Bang Rohim dulu.<br />
<br />
“Maaf, Mas. Aku terlanjur menganggapmu sebagai kakak. Rasanya sulit untuk merubahnya.”<br />
<br />
Berakhirlah. Sampai di sini saja perjuangan kami di Surabaya. Jamal tersenyum mengerti, namun kuyakini hatinya kecewa. Cintanya yang magis tak berakhir manis. Kami pulang ke Jakarta dengan penolakan.<br />
<br />
Sejak hari itu, Jamal tak terlihat lagi melankolis. Ia kembali sibuk dalam aktivitasnya. Adikku itu benar-benar hebat. Kendati patah hati, ia tak mau larut dalam perasaannya. Bahkan, belakangan aku tahu ia belum menyerah. Setidaknya penolakan itu berhasil mengakrabkan kembali Jamal dengan Lala. Mereka berdua kerap berkirim SMS sekedar menanyakan kabar ataupun saling bercerita. Jamal betul-betul memandang ini sebagai peluang untuk mengubah pandangan Lala terhadapnya.<br />
<br />
Waktu kian berganti hingga masa dimana Jamal mengutarakan lagi keinginannya itu. Sayang ditolak lagi. Begitu berulang hingga tiga kali.<br />
<br />
Ayah dan Ibu prihatin melihatnya. Mereka tak bisa berbuat banyak. Keinginan mereka untuk menjodohkan saja keduanya Jamal tolak.<br />
<br />
”Syarat orang yang menjadi calon istriku, haruslah tulus ikhlas menjadi pendampingku. Atas kemauannya sendiri, bukan pihak lain!” Begitu alasannya selalu.<br />
<br />
Terserahlah apa katanya. Tapi ini sudah menginjak tahun kelima Jamal memelihara cinta tak kesampaian ini. Usianya kian mendekati kepala tiga. Cukup mengherankan ia tetap memeliharanya terus. Rasanya tak layak cinta itu dipelihara terus. Ia harus diberangus. Lala bukanlah gadis terakhir yang hidup di dunia. Untuk itu Ibu, Ayah dan aku kongkalikong untuk membunuh cinta Jamal. Sudah saatnya ia mempertimbangkan gadis-gadis lain. Kebetulan ada yang mau. Pak Haji Abdullah sejak lama ingin bermenantukan Jamal dan menyandingkannya dengan Azisa, anak sulungnya. Kami susun perjodohan tanpa sepengetahuan Jamal. Lantas, kami sekeluarga berusaha ”menghasut” Jamal untuk memperhitungkan keberadaan Azisa, temannya sejak SMU itu.<br />
<br />
Alhamdulillah berhasil. Hati Jamal mulai terbuka untuk Azisa sehingga saat Pak Haji Abdullah meminta dirinya menjadi menantu, ia tak punya lagi pilihan selain mengiyakan.<br />
<br />
***<br />
<br />
Kesediaan Jamal memang sudah didapat, namun anehnya ia tak kunjung juga menentukan tanggal pernikahan. Kali ini naluriku sebagai kakak turut bermain. Rasanya Jamal tengah menghadapi masalah yang tak dapat dibaginya kepada siapapun, termasuk Azisa. Saatnya aku menjadi kakak yang baik untuknya.<br />
<br />
”Entahlah, Mbak. Rasanya aku tak siap untuk menikah.”<br />
<br />
Mataku terbelalak saat Jamal mengutarakan penyebabnya.<br />
<br />
”Apa pasal?” tanyaku agak jeri. Aku tak berani membayangkan jika Jamal tiba-tiba membatalkan perjodohan. Keluarga kami bisa menanggung malu!<br />
<br />
”Rasanya Azisa bukan jodohku.”<br />
<br />
Aku semakin terkesiap. Aku mulai menduga-duga arah pembicaraannya.<br />
<br />
”Lala-kah?” tanyaku. Jamal mengangguk pelan, namun pasti.<br />
<br />
”Sebenarnya mimpi tempo hari itu tak sekonyong datang. Aku memintanya kepada Tuhan. Aku meminta Dia memberikan petunjuk tentang jodohku kelak. Dan yang muncul ternyata Lala!”<br />
<br />
Aku kembali terdiam. Aku benar-benar payah. Sudah setua ini, masih saja tak dapat menjadi kakak yang baik buat Jamal. Aku bingung harus menanggapi bagaimana.<br />
<br />
”Maafkan jika selama ini Mbak tak bisa menjadi kakak yang baik, Mal. Bahkan untuk masalahmu satu ini pun Mbak tak bisa menjawab. Hanya saja, kita tak akan pernah benar-benar tahu apa yang kita yakini benar itu sebagai kebenaran, Mal. Termasuk mimpimu. Mbak tidak tahu lagi harus menganggapnya omong kosong ataukah benar-benar pertanda. Kalaulah mimpi itu pertanda, pasti banyak sekali maknanya.”<br />
<br />
”Kamu memaknainya sebagai cinta dan jodoh, Ibu memaknainya sebagai silaturahmi dan Ayah memaknainya sebagai tipikal istri ideal bagimu. Bukankah Azisa pun tak berbeda jauh dengan Lala? Mimpi itu nisbi, Mal.”<br />
<br />
Jamal hanya mendesah pelan sambil memandang kejauhan. Mukanya masam. Mungkin tak menghendaki aku bersikap tak mendukungnya.<br />
<br />
”Mungkin,” lanjutku, ”ini hanya masalah cinta saja. Mungkin hatimu masih hidup dalam bayangan Lala dan tak pernah sekali pun memberi kesempatan untuk dimasuki Azisa. Kau hidup di kehidupan nyata, Mal. Sampai kapan akan menjadi pemimpi?!”<br />
<br />
Aku tersentak oleh ucapanku sendiri. Tak kuduga akan mengucapkan ini. Bukan apa-apa. Beberapa waktu lalu kami mendengar kabar Lala menerima pinangan seseorang. Kendati menyerah, aku yakin Jamal masih memiliki cinta untuk Lala. Ia pasti sakit. Aku betul-betul kakak yang tak peka. Aku menyesal. Aku peluk Jamal, menangis sesal.<br />
<br />
Jamal turut menangis. Isaknya berenergi kekesalan, kekecewaan, kesepian, keputus-asa-an, bahkan kesepian. Aku terenyuh. Betapa ia menderita selama ini.<br />
<br />
“Besok kita batalkan saja perjodohan dengan Azisa, Mal. Itu lebih baik ketimbang kau tak ikhlas menjalaninya nanti. Itu katamu tentang pernikahan, ‘kan? Kita bicarakan dulu dengan Ayah dan Ibu.”<br />
<br />
Kupikir ini yang terbaik. Tak bijak rasanya tetap berkeras melangsungkan perjodohan di saat Jamal rapuh begini. Di saat Jamal terluka dan bimbang pada perasaannya. Biarlah keluarga kami menanggung malu bersama.<br />
<br />
“Tidak. Kita teruskan saja. Aku ikhlas menjalani sisa hidupku bersama Azisa. Mungkin aku hanya membutuhkan sedikit menangis saja. Aku pergi dulu ke rumah Pak Haji untuk membicarakan ini. Assalamu’alaikum.”<br />
<br />
Kutatap kepergian Jamal dengan perasaan tak tentu. Kalau diingat semua ini terjadi karena mimpi. Ya, Allah apakah benar mimpi itu pertanda-Mu? Jikalau benar kenapa sulit sekali terrealisasi? Jika pun tidak benar kenapa banyak orang mempercayai?<br />
<br />
Aku terpekur. Maafkan aku adikku. Aku hanyalah insan, yang tak mampu menerjemahkan segala misteri-Nya, bahkan yang tersurat sekalipun. Aku hanya berusaha. Dia tetap yang menentukan. Maafkan aku.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03646279938462545085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3575003200595890662.post-8720526870706753942011-03-28T22:43:00.001-07:002011-03-28T22:43:53.485-07:00Aku Ingin Mencintaimu Dengan SederhanaAku memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret 2002, hari ulang tahun perkawinan kami yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya pula Aa’ lupa. Ulang tahun pertama, Aa’ lupa karena harus rapat dengan direksi untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan perusahaan. Sebagai Direktur keuangan, Aa’ memang berkewajiban menyelesaikan masalah tersebut. Baiklah, aku maklum. Persoalan saat itu memang lumayan pelik.<br />
<br />
Ulang tahun kedua, Aa’ harus keluar kota untuk melakukan presentasi. Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu aku menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik, toh aku sudah membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara…”<br />
<br />
Sekarang, pagi-pagi ia sudah pamit ke kantor karena harus menyiapkan beberapa dokumen rapat. Ia pamit saat aku berada di kamar mandi. Aku memang sengaja tidak mengingatkannya tentang ulang tahun perkawinan kami. Aku ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Aku menarik napas panjang.<br />
<br />
Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun perkawinan sendiri? Aku mendengus kesal. Aa’ memang berbeda dengan aku. Ia kalem dan tidak ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada momen-momen istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah muda seperti yang sering kubayangkan saat sebelum aku menikah.<br />
<br />
Sedangkan aku, ekspresif dan romantis. Aku selalu memberinya hadiah dengan kata-kata manis setiap hari ulang tahunnya. Aku juga tidak lupa mengucapkan berpuluh kali kata I love you setiap minggu. Mengirim pesan, bahkan puisi lewat sms saat ia keluar kota. Pokoknya, bagiku cinta harus diekspresikan dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian dari cinta.<br />
<br />
Aku tahu, kalau aku mencintai Aa’, aku harus menerimanya apa adanya. Tetapi, masak sih orang tidak mau berubah dan belajar? Bukankah aku sudah mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya aku kesal titik. Dan semua menjadi tidak menyenangkan bagiku. Aku uring-uringan. Aa’ jadi benar-benar menyebalkan di mataku. Aku mulai menghitung-hitung waktu dan perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga tahun perkawinan kami. Tidak ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali kami sempat pergi berdua untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya dihabiskannya untuk tidur sepanjang hari. Jadilah aku manyun sendiri hampir setiap hari minggu dan cuma bisa memandangnya mendengkur dengan manis di tempat tidur.<br />
<br />
Rasa kesalku semakin menjadi. Apalagi, hubungan kami seminggu ini memang sedang tidak baik. Kami berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di tempat tugas kami masing-masing membuat kami bertemu di rumah dalam keadaan sama-sama letih dan mudah tersinggung satu sama lain. Jadilah, beberapa kali kami bertengkar minggu ini.<br />
<br />
Sebenarnya, hari ini aku sudah mengosongkan semua jadual kegiatanku. Aku ingin berdua saja dengannya hari ini dan melakukan berbagai hal menyenangkan. Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Aa’. Sulit sekali baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada akhir pekan seperti ini. Mungkin, karena kami belum mempunyai anak. Sehingga ia tidak merasa perlu untuk meluangkan waktu pada akhir pekan seperti ini.<br />
<br />
”Hen, kamu yakin mau menerima lamaran A’ Ridwan?” Diah sahabatku menatapku heran. ”Kakakku itu enggak romantis, lho. Tidak seperti suami romantis yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe laki-laki serius yang hobinya bekerja keras. Baik sih, soleh, setia… Tapi enggak humoris. Pokoknya, hidup sama dia itu datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma kerja, kerja dan kerja…” Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma senyum-senyum saja saat itu. Aa’ memang menanyakan kesediaanku untuk menerima lamaranku lewat Diah.<br />
<br />
”Kamu kok gitu, sih? Enggak senang ya kalau aku jadi kakak iparmu?” tanyaku sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. ”Yah, yang seperti ini mah tidak akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A’ Ridwan.” Diah tertawa geli. ”Kamu belum tahu kakakku, sih!” Tetapi, apapun kata Diah, aku telah bertekad untuk menerima lamaran Aa’. Aku yakin kami bisa saling menyesuaikan diri. Toh ia laki-laki yang baik. Itu sudah lebih dari cukup buatku.<br />
<br />
Minggu-minggu pertama setelah perkawinan kami tidak banyak masalah berarti. Seperti layaknya pengantin baru, Aa’ berusaha romantis. Dan aku senang. Tetapi, semua berakhir saat masa cutinya berakhir. Ia segera berkutat dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan ehm, oh, begitu ya… Itupun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, aku yang telah berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera untuk melanjutkan cerita.<br />
<br />
Begitulah… aku berusaha mengerti dan menerimanya. Tetapi pagi ini, kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya. Aku izin ke rumah ibu. Kukirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru kuterima jawabannya. Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu. Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas smsku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah saingan yang merebut perhatian suamiku.<br />
<br />
Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku. Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku saat samar-samar kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas.<br />
<br />
”Kenapa Hen? Ada masalah dengan Ridwan?” Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.<br />
<br />
Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada Ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ”Hen, mungkin semua ini salah Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik. Apa kekurangan Ridwan? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Ridwan itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami seperti dia, Hen. Banyak orang yang dizholimi suaminya. Na’udzubillah!” Kata Ibu.<br />
<br />
Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan Ibu. ”Tapi Bu, dia itu keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu. Bukan cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa yang diucapkan Ibu.<br />
<br />
Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Aa’? Hampir tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana Aa’ bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Aa’ tidak pernah meladeni ajakan Anita yang tidak juga bosan menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan cool seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.<br />
<br />
”Hen, kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Ridwan yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur…” Ibu berkata tenang.<br />
<br />
Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku kehilangan rasa syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya berselingkuh dengan wanita lain dan sangat kasar kepadanya? Bukankah aku yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya?<br />
<br />
Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadualnya? Bukankah aku bisa mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena kesibukannya? Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?<br />
<br />
Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.<br />
<br />
Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa’ lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa’ belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, aku hanya menerima smsnya. Maaf aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai. Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi aku tetap menunggunya di ruang tamu.<br />
<br />
Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, aku tertidur. Kulirik jam dinding, jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil. Aa’ tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.<br />
<br />
Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.<br />
<br />
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana<br />
<br />
Lewat kata yang tak sempat disampaikan<br />
<br />
Awan kepada air yang menjadikannya tiada<br />
<br />
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana<br />
<br />
Dengan kata yang tak sempat diucapkan<br />
<br />
Kayu kepada api yang menjadikannya abu. *Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03646279938462545085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3575003200595890662.post-49269917923920909442011-03-28T22:39:00.001-07:002011-03-28T22:39:21.457-07:00Just Do ItAgaknya hakikat perkawinan kini makin tak mudah dipahami, menyusul<br />
makin banyaknva pasangan gampang menceraikan diri.<br />
<br />
Padahal, kalau kita buat daftar alasan mengapa orang memutuskan untuk<br />
menikah dan daftar alasan mengapa mereka bercerai, pasti akan<br />
ditemukan banyak overlaping pada kedua daftar tersebut.<br />
<br />
Ketika menjemput teman di bandara sore tadi, tak sengaja saya<br />
mendapat pelajaran berharga arti sebuah perkawinan.<br />
Di ruang kedatangan, seorang pria paruh baya menenteng<br />
koper dan tas kecil tergopoh menjemput keluarga yang datang<br />
menjemputnya.<br />
<br />
Sambil berjongkok ia memeluk anaknya yang kecil, perempuan usia lima<br />
tahun. Dari hangatnya pelukan erat anak-bapak ini tercermin betapa<br />
masing-masing amat rindu. “Apa kabar Dik? Papa kangen nih.” Sang anak<br />
tersipu-sipu, Adik juga kangen Pa.” Kemudian ia memandang si sulung.<br />
Bocah lelaki usia 10 tahun. “Wah, Dion sudah gede sekarang” ujarnya<br />
sambil merangkulnya. Mereka saling mengelus kepala. Adegan<br />
selanjutnya, adalah ciuman kasih si pria terhadap ibu kedua anaknya,<br />
layaknya pengantin baru.<br />
<br />
Rasa iri terbersit di hati melihat adegan tersebut.<br />
<br />
“Sudah berapa tahun usia perkawinan Anda,”<br />
tanya saya kepada si pria.<br />
<br />
“Kami sudah menikah selama 17 tahun,” jawabnya<br />
tanpa melepaskan gandengan tangan istrinya.<br />
<br />
“Omong-omong, Anda pergi berapa lama sih?”<br />
<br />
“Dua hari,” jawabnya singkat.<br />
<br />
Saya terkejut mendengar jawaban itu. Betapa tidak, melihat kerinduan<br />
masing-masing dalam penyambutan mesra itu, saya pikir pria tadi sudah<br />
meninggalkan keluarganya selama berbulan-bulan.<br />
<br />
“Mengapa Anda tanyakan hal itu,” tanya si pria melihat wajah saya termangu.<br />
<br />
“Well, semoga saya bisa seperti Anda.”<br />
<br />
“Jangan hanya berharap. Just Do It,” ujarnva berlalu.<br />
<br />
Barangkali memang benar pernyataan Mignon McLaughlin jurnalis Amerika<br />
terkenal, sebuah perkawinan yang berhasil menuntut jatuh cinta<br />
berkali-kali tapi selalu pada orang yang sama.*Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03646279938462545085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3575003200595890662.post-67642480357589638202011-03-28T22:38:00.001-07:002011-03-28T22:38:22.420-07:00ajari aku memeluk landaknice mirror<br />
<br />
Saya menabrak seorang yang tidak dikenal<br />
ketika ia lewat. “Oh, maafkansaya” adalah reaksi saya.<br />
Ia berkata, “Maafkan saya juga; Saya tidak melihat Anda.”<br />
<br />
Orang tidak dikenal itu, juga saya, berlaku sangat sopan.<br />
Akhirnya kami berpisah dan mengucapkan selamat tinggal.<br />
Namun cerita lainnya terjadi di rumah, lihat bagaimana kita memperlakukan<br />
orang-orang yang kita kasihi, tua dan muda.<br />
<br />
Pada hari itujuga, saat saya tengah<br />
memasak makan malam, anak lelaki saya berdiri diam-diam di<br />
samping saya. Ketika saya berbalik, hampir<br />
saja saya membuatnya jatuh. “Minggir,” kata saya<br />
dengan marah. Ia pergi, hati kecilnya hancur. Saya tidak<br />
menyadari betapa kasarnya kata-kata saya kepadanya.<br />
<br />
Ketika saya berbaring di tempat tidur, seolah dengan halus Tuhan berbicara padaku,<br />
“Sewaktu kamu berurusan dengan orang yang tidak kau kenal, kesopanan kamu<br />
gunakan, tetapi anak-anak yang engkau kasihi, sepertinya engkau perlakukan<br />
dengan sewenang-wenang. Coba lihat ke lantai dapur, engkau akan menemukan<br />
beberapa kuntum bunga dekat pintu.”<br />
“Bunga-bunga tersebut telah dipetik sendiri oleh anakmu; merah muda, kuning<br />
dan biru. Anakmu berdiri tanpa suara supaya tidak menggagalkan kejutan yang<br />
akan ia buat bagimu, dan kamu bahkan tidak melihat matanya yang basah saat itu.”<br />
<br />
Seketika aku merasa malu, dan sekarang air mataku mulai menetes.<br />
Saya pelan-pelan pergi ke kamar anakku dan berlutut di dekat tempat<br />
tidurnya, “Bangun, nak, bangun,” kataku.<br />
“Apakah bunga-bunga ini engkau petik untukku?”<br />
<br />
Ia tersenyum, ” Aku menemukannya jatuh dari pohon. Aku<br />
mengambil bunga-bunga ini karena mereka cantik seperti Ibu.<br />
Aku tahu Ibu akan menyukainya, terutama yang berwarna biru”.<br />
<br />
Aku berkata, “Anakku, Ibu sangat menyesal karena telah kasar padamu; Ibu<br />
seharusnya tidak membentakmu seperti tadi. “<br />
<br />
Si kecilku berkata, “Oh, Ibu, tidak apa-apa. Aku tetap mencintaimu.”<br />
Aku pun membalas, “Anakku, aku mencintaimu juga,<br />
dan aku benar-benar menyukai bunga-bunga ini, apalagi yang biru.”<br />
<br />
Apakah anda menyadari bahwa jika kita mati besok,<br />
perusahaan di mana kita bekerja sekarang bisa saja dengan<br />
mudahnya mencari pengganti kita dalam hitungan hari?<br />
Tetapi keluarga yang kita tinggalkan akan merasakan<br />
kehilangan selama sisa hidup mereka.<br />
Mari kita renungkan, kita melibatkan diri lebih dalam kepada pekerjaan kita<br />
ketimbang keluarga kita sendiri, suatu investasi yang tentunya kurang<br />
bijaksana, bukan?<br />
<br />
Jadi apakah anda telah memahami apa tujuan cerita di atas?<br />
<br />
Apakah anda tahu apa arti kata KELUARGA?<br />
Dalam bahasa Inggris, KELUARGA = FAMILY.<br />
FAMILY = (F)ATHER (A)ND (M)OTHER, (I), (L)OVE, (Y)OU<br />
<br />
AUTHOR: UNKNOWN<br />
<br />
#######################################################################<br />
<br />
Ajari Aku Memeluk Landak<br />
<br />
Cassie menunggu dengan antusias. Kaki kecilnya bolak-balik melangkah<br />
dari ruang tamu ke pintu depan. Diliriknya jalan raya depan rumah.<br />
Belum ada. Cassie masuk lagi. Keluar lagi. Belum ada. Masuk lagi.<br />
Keluar lagi. Begitu terus selama hampir satu jam. Suara si Mbok yang<br />
menyuruhnya berulang kali untuk makan duluan, tidak dia gubris.<br />
<br />
Pukul 18.30. Tinnn… Tiiiinnnnn…!! Cassie kecil melompat girang!<br />
Mama pulang! Papa pulang! Dilihatnya dua orang yang sangat dia cintai<br />
itu masuk ke rumah.<br />
<br />
Yang satu langsung menuju ke kamar mandi. Yang satu mengempaskan diri<br />
di sofa sambil mengurut-urut kepala. Wajah-wajah yang letih sehabis<br />
bekerja seharian, mencari nafkah bagi keluarga.<br />
Bagi si kecil Cassie juga, yang tentunya belum mengerti banyak. Di<br />
otaknya yang kecil,<br />
Cassie cuma tahu, ia kangen Mama dan Papa, dan ia girang Mama dan<br />
Papa pulang.<br />
<br />
“Mama, mama…. Mama, mama….” Cassie menggerak-gerakkan<br />
tangan. “Mama….” Mama diam saja. Dengan cemas Cassie<br />
bertanya, “Mama sakit ya? Mana yang sakit? Mam, mana yang sakit?”<br />
<br />
Mama tidak menjawab. Hanya mengernyitkan alis sambil memejamkan mata.<br />
Cassie makin gencar bertanya, “Mama, mama… mana yang sakit? Cassie<br />
ambilin obat ya? Ya? Ya?”<br />
<br />
Tiba-tiba… “Cassie!! Kepala mama lagi pusing! Kamu jangan berisik!”<br />
Mama membentak dengan suara tinggi.<br />
<br />
Kaget, Cassie mundur perlahan. Matanya menyipit. Kaki kecilnya<br />
gemetar. Bingung. Cassie salah apa? Cassie sayang Mama… Cassie<br />
salah apa? Takut-takut, Cassie menyingkir ke sudut ruangan. Mengamati<br />
Mama dari jauh, yang kembali mengurut-ngurut kepalanya. Otak kecil<br />
Cassie terus bertanya-tanya: Mama, Cassie salah apa? Mama tidak suka<br />
dekat-dekat Cassie? Cassie mengganggu Mama?<br />
Cassie tidak boleh sayang<br />
Mama, ya? Berbagai peristiwa sejenis terjadi. Dan<br />
otak kecil Cassie merekam semuanya.<br />
<br />
Maka tahun-tahun berlalu. Cassie tidak lagi kecil. Cassie bertambah<br />
tinggi. Cassie remaja. Cassie mulai beranjak menuju dewasa.<br />
<br />
Tin.. Tiiinnn… ! Mama pulang. Papa pulang. Cassie menurunkan kaki<br />
dari meja. Mematikan TV. Buru-buru naik ke atas, ke kamarnya, dan<br />
mengunci pintu. Menghilang dari pandangan.<br />
<br />
“Cassie mana?”<br />
<br />
“Sudah makan duluan, Tuan, Nyonya.”<br />
<br />
Malam itu mereka kembali hanya makan berdua.<br />
Dalam kesunyian berpikir dengan hati terluka: Mengapa anakku sendiri, yang<br />
kubesarkan dengan susah payah, dengan kerja keras, nampaknya<br />
tidak suka menghabiskan waktu bersama-sama denganku? Apa salahku?<br />
Apa dosaku? Ah, anak jaman sekarang memang tidak tahu hormat sama<br />
orangtua! Tidak seperti jaman dulu.<br />
<br />
Di atas, Cassie mengamati dua orang yang paling dicintainya dalam<br />
diam. Dari jauh. Dari tempat di mana ia tidak akan terluka. “Mama,<br />
Papa, katakan padaku, bagaimana caranya<br />
memeluk seekor landak?”<br />
<br />
(CN02 – SM )Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03646279938462545085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3575003200595890662.post-42379942568162952592011-03-28T22:37:00.001-07:002011-03-28T22:37:08.575-07:00KIsah cinta sejatiNamaku Linda dan aku memiliki sebuah kisah cinta yang memberikanku sebuah pengajaran tentangnya. Ini bukanlah sebuah kisah cinta hebat dan mengagumkan seperti dalam novel-novel romantis, tetapi tetap bagiku ia adalah kisah yang jauh lebih mengagumkan dari semua novela tersebut.<br />
<br />
Ini adalah kisah cinta ayahku, Mohammed Huda Alhabsyi dan ibuku, Yasmine Ghauri. Mereka bertemu di sebuah majlis resepsi pernikahan dan kata ayahku dia jatuh cinta pada pandangan pertama ketika ibuku masuk ke dalam ruangan. Saat itu dia tahu, inilah wanita yang akan dikahwininya. Ia menjadi kenyataan dan mereka telah bernikah selama 40 tahun dengan tiga orang anak. Aku anak sulung, telah berkahwin dan memberikan mereka dua orang cucu. Ibu bapaku hidup bahagia dan selama bertahun-tahun telah menjadi ibu bapa yang sangat baik bagi kami, membimbing kami dengan penuh cinta kasih dan kebijaksanaan.<br />
<br />
Aku teringat suatu hari ketika aku masih berusia belasan tahun. Beberapa jiran kami mengajak ibuku pergi ke pembukaan pasaraya yang menjual alat-alat keperluan rumah tangga. Mereka mengatakan hari pembukaan adalah waktu terbaik untuk berbelanja barang keperluan kerana barang sangat murah dengan kualiti yang berpatutan.<br />
<br />
Tapi ibuku menolaknya kerana ayahku sebentar lagi akan pulang dari kerja. Kata ibuku,”Ibu tak akan pernah meninggalkan ayahmu sendirian”.<br />
<br />
Perkara itu yang selalu ditegaskan oleh ibuku kepadaku. Apapun yang terjadi, sebagai seorang wanita, aku wajib bersikap baik terhadap suamiku dan selalu menemaninya dalam keadaan apapun, baik miskin, kaya, sihat mahupun sakit. Seorang wanita harus menjadi teman hidup suaminya. Banyak orang tertawa mendengar hal itu. Menurut mereka, itu hanyalah lafaz janji pernikahan, omongan kosong belaka. Tapi aku tetap mempercayai nasihat ibuku.<br />
<br />
Sampai suatu hari, bertahun-tahun kemudian, kami sekeluarga mengalami berita duka. Setelah ulang tahun ibuku yang ke-59, ibuku terjatuh di kamar mandi dan menjadi lumpuh. Doktor mengatakan kalau saraf tulang belakang ibuku tidak berfungsi lagi, dia harus menghabiskan sisa hidupnya di pembaringan.<br />
<br />
Ayahku, seorang lelaki yang masih sihat di usia tuanya. Tetapi dia tetap setia merawat ibuku, menyuapinya, bercerita segala hal dan membisikkan kata-kata cinta pada ibu. Ayahku tak pernah meninggalkannya. Selama bertahun-tahun, hampir setiap hari ayahku selalu menemaninya. Ayahku pernah mengilatkan kuku tangan ibuku, dan ketika ibuku bertanya ,”Untuk apa kau lakukan itu? Aku sudah sangat tua dan hodoh sekali”.<br />
<br />
Ayahku menjawab, “Aku ingin kau tetap merasa cantik”.<br />
<br />
Begitulah pekerjaan ayahku sehari-hari, merawat ibuku dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.<br />
<br />
Suatu hari ibu berkata padaku sambil tersenyum,”Kau tahu, Linda. Ayahmu tak akan pernah meninggalkan aku…kau tahu kenapa?”<br />
<br />
Aku menggeleng, dan ibuku berkata, “Kerana aku tak pernah meninggalkannya…”<br />
<br />
Itulah kisah cinta ayahku, Mohammed Huda Alhabsyi dan Ibuku, Yasmine Ghauri, mereka memberikan kami anak-anaknya pelajaran tentang tanggungjawab, kesetiaan, rasa hormat, saling menghargai, kebersamaan, dan cinta kasih. Bukan dengan kata-kata, tapi mereka memberikan contoh dari kehidupannya.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03646279938462545085noreply@blogger.com0